Jaringanpelajaraceh – Belajar berpuasa Ramadhan bagi anak-anak akan menjadi pondasi kuat tatkala menjalankan kewajiban itu saat sudah baligh nantinya. Tahap pertama, anak bisa diajari berpuasa menahan lapar dan haus hingga beberapa jam saja.
Bagaimanakah sesungguhnya puasa bagi anak-anak, berbahayakah secara medis? dr T. Yusriadi, berbagi informasi di Mihrab edisi kali ini.
Dokter yang bertugas di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Provinsi Aceh ini menjelaskan, berpuasa dapat membentuk kepribadian anak. Dari sisi perkembangan kognitif, menurutnya, puasa mengajak anak berpikir kreatif.
“Sisi perkembangan emosi, anak belajar pengendalian diri dan sisi pekembangan sosial, anak-anak diajari kepedulian. Melihat besarnya manfaat puasa tersebut, hendaknya para orang tua mendorong dan melatih putra-putrinya untuk berpuasa,” katanya.
Namun ia menegaskan, puasa pada anak itu hanya sebagai latihan saja dan tidak boleh dipaksa. “Mau sepuluh kali atau lebih buka puasa tidak apa-apa, namanya memperkenalkan. Puasanya bolong-bolong juga tidak apa-apa, yang penting tidak boleh ada tekanan,” ujarnya.
Bagi anak yang bisa ikut berpuasa, orang tua harus menciptakan suasana lebih menyenangkan di rumah. Sehingga, anak tidak menganggap puasa itu memberatkan. Sambil menunggu berbuka, misalnya, ajak anak-anak bermain. Ini akan membuat anak lupa sedang puasa.
Rasulullah Saw, seperti diriwayatkan Rabi’ binti Muawwidz ra, pada suatu pagi di hari Asy-Syura, beliau menulis surat kepada penduduk kota Madinah, yang dihuni kaum Anshar: “Barang siapa yang pagi-pagi dalam keadaan berpuasa hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Barang siapa pagi-pagi sudah dalam keadaan berbuka, hendaklah selebihnya ia sempurnakan”. “Setelah itu kami selalu berpuasa pada hari asy-Syura dan menyuruh anak-anak kecil kami untuk ikut berpuasa. Kami pergi ke masjid. Kami buatkan mereka mainan dari bulu. Apabila ada diantara mereka yang menangis karena minta makanan, kami berikan mainan tersebut kepadanya, hingga hal itu berlangsung sampai waktunya berbuka.” (HR Bukhari dan Muslim).
Imam Syafi’i, bersandar pada hadits Rasulullah yang memerintahkan para orang tua untuk menyuruh anak-anak mereka melaksanakan shalat pada usia 7 tahun dan memukul mereka karena meninggalkan shalat saat usia mereka menginjak sepuluh tahun. “Karena, anak dalam batas usia 7 tahun sampai dengan sepuluh tahun sudah dapat dilatih melaksanakan puasa.
Keadaan stabil di dalam tubuh manusia (homeostasis), memungkinkan melakukan berbagai kegiatan sehari-hari. Manusia bisa terjaga karena adanya glukosa. Glukosa merupakan sumber energi bagi otak, hati, otot, sel darah merah, dan sel lemak.
Otak dan sel darah merah tidak dapat memproduksi glukosa sendiri, tetapi tergantung pada kadar gula darah dalam tubuh. Sementara, kadar gula darah dalam tubuh bisa dipertahankan dengan mengonsumsi makanan.
Makanan yang kita konsumsi dapat mempertahankan kadar gula darah dalam tubuh sampai empat jam. Jadi, jika seorang anak, misalnya, makan pagi pada pukul 05.00, maka kadar gula darah dalam tubuhnya bisa bertahan sampai pukul 09.00.
“Itu sebabnya, mengapa anak-anak usia sekolah penting sarapan pagi. Setelah rentang waktu empat jam, untuk mempertahankan kadar gula darah, tubuh akan mulai memecah cadangan glukosa yang terutama disimpan di hati dan otot, yang disebut glikogen,” kata T Yusriadi yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa pendidikan dokter spesialis Ilmu Bedah Anak FK UGM, Yogyakarta.
Menurutnya, enambelas jam setelah mengonsumsi makanan, atau yang disebut fase kelaparan dini, glukosa tidak lagi diambil tubuh dari cadangan yang disimpan di hati dan otot. Pada fase ini, sumber energi dapat berasal dari pemecahan lemak dan protein. Jika fase kelaparan berlangsung lama atau kronis, maka dapat terjadi gangguan tumbuh-kembang pada anak.
Pada tahun 1990, di Australia, beberapa ahli melakukan uji puasa pada anak mulai dari bayi usia 6 bulan sampai remaja usia 15 tahun. Hasilnya, bahkan bayi usia 6 bulan pun dapat menoleransi puasa sampai 24 jam. Artinya, anak sehat dapat melakukan puasa penuh tanpa berisiko mengalami hipoglikemia.