Jaringanpelajaraceh.com-Di antara sejumlah orang Aceh atau berdarah Aceh yang menjadi tokoh penting di Malaysia, Tan Sri Sanusi Junid yang paling mengemuka dan paling dikenal. Hal ini dikarenakan oleh rentang waktu kiprahnya yang paling lama yang diikuti oleh ragam posisi penting yang didudukinya, baik dalam ranah pemerintahan, perbankan (profesi), maupun dalam bidang sosial kemasyarakatan. Faktor lain yang cukup penting juga adalah karena sikapnya yang luwes dan terbuka dengan ragam kalangan tak terkecuali dengan komunitas Aceh yang ada di Malaysia.
Karena itu amat patut kiranya ketika Tan Sri berpulang ke hadirat Allah SWT pada subuh Jumat (9/3/2018) yang lalu, banyak kalangan yang merasa kehilangan. Kepulangan Tan Sri menyisakan banyak rekaman, catatan, dan ingatan orang akan kiprah dan tuturannya semasa hidup. Saya sendiri memiliki beberapa catatan dan ingatan khusus selama berinteraksi dengan Tan Sri Sanusi Junid.
Artikel ini saya tulis sebagai bagian dari upaya melawan lupa sekaligus sebagai bentuk penghormatan saya kepada Tan Sri Sanusi Junid. Artikel ini didasarkan pada coretan tangan di buku harian yang saya toreh ketika mengikuti Aceh Development International Conference (ADIC) III di Kampus International Islamic University Malaysia (IIUM), Kuala Lumpur. pada 26-27 Maret 2012 silam.
Setelah sesi konferensi berlangsung secara paralel dan beberapa orang narasumber memaparkan makalahnya, Tan Sri Sanusi Junid (Presiden Aceh Club Kuala Lumpur) tampil kemuka untuk menyampaikan pidato penutupan. Kehadiran Tan Sri memang telah ditunggu-tunggu oleh peserta konferensi, terutama orang-orang yang belum mengenalnya secara fisik.
Dalam pidato penutupan itu, Tan Sri memang memperlihatkan kualitasnya sebagai seorang politisi senior yang masih berpengaruh dan disegani. Semangat dan kharismanya masih memancarkan pesona di balik balutan fisiknya yang kian lemah dimakan usia. Tan Sri menyampaikan pidato dalam bahasa Aceh, Inggris, dan Melayu. Bahasa Jerman juga begitu fasih dilidahnya ketika memutar ulang satu dialog berdurasi singkat antara dirinya dengan salah seorang profesor di negeri panser itu pada satu ketika dulu.
Banyak sekali hal-hal menarik dan penting yang disampaikan Tan Sri dalam ritme teratur, serius, namun diselingi guyonan. Berulang kali hadirin memberikan applaus atas pidatonya itu. Inti dari pidato Tan Sri adalah mengajak peserta konferensi, yang pada umumnya ureung Aceh, untuk belajar dan bekerja keras, melahirkan generasi-generasi cerdas, demi kepemimpinan dan masa depan Aceh yang lebih baik di masa mendatang.
Di antara sub-topik yang disampaikan Tan Sri adalah pengalamannya membangkitkan kualitas pendidikan masyarakat Kedah ketika beliau menjadi Menteri Besar di sana. Sebagai informasi tambahan, Tan Sri menjadi Menteri Besar Kedah antara tahun 1996-1999. Saat dia mula menjabat, pendidikan di Kedah menempati urutan ke 12 dari 13 negeri yang ada di Malaysia. Menurut Tan Sri, kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kualitas guru, kelengkapan fasilitas, dan aspek penunjang lainnya. Akan tetapi, faktor yang paling utama dan penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah kesungguhan peserta didik dalam belajar.
Dalam konteks ini, hal unik yang dilakukan Tan Sri adalah membagikan 20 kaleng cat ke setiap mesjid di Kedah. Setelah mesjid terlihat indah, Tan Sri mengundang para imam dan pengurus mesjid untuk “menghidupkan” mesjid pada malam hari. Tan Sri kemudian meminta kepada para kepala kampung untuk memastikan setiap pelajar sekolah datang ke mesjid pada malam hari. Yang menarik, anak-anak sekolah itu tidak diikat dengan metode belajar yang ketat di bawah kawalan guru/teungku, sebagaimana yang berlaku di balai-balai pengajian di Aceh. Mereka boleh belajar apa saja secara mandiri dalam rentang waktu yang telah ditetapkan itu. Ternyata, rata-rata anak beroleh kesempatan belajar selama dua jam per malam di mesjid. Dua tahun kemudian, prestasi pendidikan Kedah melonjak naik ke posisi dua.
Hal lain yang dilakukan Tan Sri adalah merangsang anak-anak sekolah untuk berkreasi dan berinovasi. Tan Sri menggelar lomba melukis mesjid yang diikuti oleh anak-anak. Hasil lukisan dikumpulkan, dan Tan Sri kemudian membangun sebuah mesjid di Alor Setar dengan bentuk dan desain berdasarkan lukisan terbaik dari peserta lomba. Di sisi lain, para pemuda Kedah pada masa itu tengah dijangkiti demam bola. Tan Sri membangun lapangan sepak bola yang berdekatan dengan mesjid dan menyediakan fasilitas penunjangnya. Tan Sri kemudian membentuk klub-klub sepak bola pemuda mesjid. Syarat untuk dapat bermain dalam klub itu adalah, mereka harus shalat ashar berjamaah di mesjid, kemudian main bola. Setelah bubar, mereka tidak boleh langsung pulang, tetapi harus membersihkan diri dulu dan melaksanakan shalat magrib berjamaah di mesjid.
Ketika Tan Sri menggelar kompetisi sepakbola antar mesjid, lebih dari 300 klub se-Kedah ambil bagian. Kepada klub yang berhasil meraih juara diberikan bonus berupa ibadah umrah. “Jadi, ban saboh klub, jak Umrah ngon baje bola”, guyon Tan Sri.
Itulah di antara strategi pembangunan Tan Sri Sanusi Junid. Strategi apa yang akan dilakukan oleh para pemimpin Aceh terutama pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan untuk mendongkrak kualitas pendidikan aneuk nanggroe?
Banda Aceh, 13 Maret 2018.
*)Bustami Abubakar.
Dosen Antropologi Fakultas Adab & Humaniora UIN Ar-Raniry;Sekretaris Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Wilayah Aceh.
sumber:http://www.acehtrend.co/cara-tan-sri-sanusi-junid-memajukan-pendidikan/