Guru honorer merupakan profesi yang belum merdeka di negeri ini. Pemerintah membutuhkan sentuhan dingin para guru honorer, namun sisi lainnya para abdi negeri ini dicampakkan begitu saja tanpa sebab. Penulis bukannya tendensius ketika mengatakan seperti ini, bisa dilihat bersama di lapangan, dimana para guru honorer menjadi pembatunya sebagian oknum guru PNS.
Sekolah-sekolah memiliki tiga katagori pendidik, pertama guru PNS sertifikasi, Guru PNS non sertifikasi, dan guru honor. Guru honor tersebut juga dibagi lagi kedalam beberapa jenjang, mulai dari honor yang sudah sertifikasi, guru honor kontrak pemerintah daerah dan guru honor sekolah. Perbedaan mengakibatkan ketidakhormanisan sesama guru di sekolah dan sangat timpang dalam kesejahteraan. Apalagi guru honor sedang berada di ujung tanduk dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam undang-undang ini jelas terlihat bahwa status kepegawaian yang dikenal oleh negara ada dua yaitu PNS dan Pegawai Pemerintang dengan Perjanjian Kontrak (PPPK). Kedua katagori tersebut untuk mendapatkannya harus melewati seleksi yang telah diatur oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).
Diwacanakan UU Nomor Tahun 2014 akan diberlakukan pada tahun 2020 dan honorer tak diakui lagi. Pertanyaannya, kemana honor yang tidak melewati tes. Apakah akan dipecat. Lalu bagaimana dengan honorer yang sudah lama mengabdi kepada negara, apakah jasa mereka akan dibiarkan begitu saja. Para umar bakri yang sudah mengabdi puluhan tahun akan mudah dikalahkan oleh mereka para honor yang masih fresh graduate. Pasti kita ramai-ramai akan berteriak, negara tidak adil !
Penulis akan mengajak semua para pembaca berfikir secara jernih dan tak mengedepankan emosional dalam menjawabnya. Mari kita telaah bersama benang kusut ini yang tak pernah akan rapi kembali kecuali diputuskan dengan gunting sakti mandraguna.
Pertama kita refleksi bersama proses perektrutan honorer yang membludak saat ini, apakah melalui mekanisme yang profesional atau banyak yang titipan. Baik family, rakan kerja, kerabat dekat, atau juga ada surat keramat dari petinggi negeri ini. Kita sadari atau tidak, proses yang terjadi selama ini belumlah profesional dan tanpa adanya analisis kebutuhan. Profesional atau tidak, butuh atau tidak, mereka harus diterima di sekolah dengan alasan yang penulis sebut di atas. Akibatnya, di sekolah terjadinya bagi-bagi jam seperti membagi kue bagi anak kecil. Memotong dan membaginya walaupun kecil yang didapatkan, dengan harapan terdaftar di dapodik dan diangkat menjadi PNS kelak.
Pemerintah daerah juga tak bisa bergeming, penumpukan guru honorer tak bisa menyalahkan pemerintah pusat saja. Dalam hal ini pemerintah daerah juga terus saja mengeluarkan SK guru honor, walaupun di daerah tersebut guru tak dibutuhkan lagi SK tersebut dikeluarkan secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi, yang penting uang jerih koleganya bisa cair. Ini bukan rahasia umum lagi. Namun ketika tuntutan kesejahteraan guru honor, daerah seperti lepas tangan.
Kedua, distribusi guru apakah sudah sesuai kebutuhan. Penulis membaca sebuah artikel ditahun 2019, dimana Dinas Pendidikan Aceh akan mendata semua guru, baik honor maupun PNS. Tujuannya sangat mulia, sebagai pemerataan. Langkah pertama yang dilakukan adalah guru PNS wajib mengajar 24 Jam baik yang sudah sertifikasi ataupun belum, kalau jam tidak cukup maka wajib mengajar selebihnya. Pembagiannya juga sudah diatur, dengan sendirinya para guru harus bergeser dan mencari sekolah lain.
Nasib para guru honorer juga setali tiga uang. Mulai tahun 2017 dilakukan seleksi dengan nama Uji Kompetensi Guru Non PNS (UKG), mereka yang lulus akan diberikan gaji sesuai grade. Pada tahun 2019, dibuat aturan bahwa mereka wajib mengajar 12 jam di sekoah induk dan jika tidak maka SK Kontrak Provinsi tidak dikeluarkan lagi. Nah, lagi-lagi para honorer menjadi tumbal dan sungguh ironi kehidupannya. Satu sisi, ini langkah yang sangat baik dan spektakuler, namun disisi lain ini sangat merugikan. Penulis coba menarik jauh kebelakang, saat proses seleksi guru kontrak provinsi, guru honor yang sudah puluhan mengabdi tak pernah lolos grade nilai, sedangkan honorer yang baru satu bulan mengabdi langsung mendapatkan nilai terbaik dan memperoleh SK Kontrak Provinsi. Sungguh tidak adil, lagi-lagi pengabdiannya tak dihargai.
Berita mengejutkan kembali menggoyang nasib para honorer di daerah-daerah. Wacana pemerintah sepertinya tidak main-main dan diaminkan oleh Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Pusat, Ramli Rahim. Ketua IGI menginginkan pendidikan Indonesia bangkit, maka pendidik juga harus profesional. Ramli rahim juga menginginkan pemerintah memanusiakan para guru honorer, jangan sampai mengupah mereka lebih rendah dari upah para buruh. Jalan satu-satunya adalah dengan menjadikan mereka PNS atau tenaga kontrak pusat (PPPK).
Usul ini jelas tidak menyenangkan bagi para honorer, hal ini bisa dilihat demo besar-besaran dibeberapa daerah yang menolak penghapusan sistem honorer. Walaupun ini melanggar undang-undang, mereka tetap bersikukuh bahwa ini sudah sejalan dan harus diakomodir. IGI pun jadi bulan-bulanan para guru honorer karena menganggap tak pro honorer. Organisasi guru yang mengedepankan kompetensi dalam visi mulianya terus saja dibuli . Pertanyaannya, kita mau memetingkan kepentingan bersama atau kepentingan pribadi. Kita mau pendidikan bagus atau kita mau diri sendiri yang sukses. Apakah kita mau pendidikan kita hancur, akibat dari perekrutan tenaga pendidik yang tak melalui analisis secara mumpuni.
Penulis sangat memahami kondisi psikologis para guru honorer, dimana semua manusia yang normal butuh penghidupan yang layak. Pada posisi ini pemerintah seperti memakan buah simakalama, para honorer ini wajib dihargai dan tak boleh diupah lebih rendah dari para buruh, profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Namun pemerintah juga memerlukan tenaga yang profesioanal dalam mendidik anak bangsa. Sumber Daya Manusia yang terampil dan profesional menjadi tuntutan di era persaingan global saat ini. Para pendidik haruslah profesional untuk menghasilkan para peserta didik yang siap bersaing nantinya. Maka dibutuhkan analisis kebutuhan akan tenaga guru di seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, seleksi para guru honorer menjadi tenaga PPPK menjadi solusi. Namun, penulis berharap pemerintah mengakomodir masa bakti para cek gu tesebut. Komposisi lamanya masa kerja menjadi point penilaian dan diakumulasi dengan kemampuan akademik nantinya.
Nah, ketika pemerintah mengharapkan pendidikan di Indonesia bangkit dan maju, apakah semata-mata berada di pundak guru honorer semata. Apakah para honorer yang mengakibatkan rangking pendidikan kita menjadi anjlok. Lalu sejauhmana sudah kontribusi para guru PNS yang memegang sertifikat pendidik profesional alias sertifikasi selama ini. Berdasarkan beberapa riset selama ini, upah yang dibayar dua kali lipat tidak menunjukkan perubahan signifikan terhadap pendidikan di Indonesia. Jadi, pemerintah juga harus mengkaji kembali proses seleksi guru PNS yang sertifikasi tersebut, sehingga ketimpangan dan keadilan bisa hadir di negeri ini. Jangan sampai guru tidak mau mengupgrade kemampuannya. Penulis berharap para pemegang sertifikat pendidik dikaji ulang dalam lima tahun sekali. Tujuannya untuk mendapatkan SDM yang profesional dibidangnya. Para pendidik yang tidak lulus,maka ditunda sertifikasinya sementara. Para pendidik tersebut dikirim ke LPTK untuk diasah kembali kemampuannya sampai sesuai dengan grade yang telah ditentukan. Sudah pasti disini komposisi masa pengabdian menjadi nilai satu kesatuan dan harus diakomodir dalam penilaian nantinya.
Pemerintah berupaya dengan berbagai cara mendorong pendidikan di Indonesia untuk lebih maju dan segera mengejar impian tersebut. Tak bisa dipungkiri pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit, namun pemerintah tak bisa menggunakan standar ganda dalam mencapai tujuan tersebut. Pemerintah wajib mengedepankan tenaga yang terampil dan profesional, baik guru PNS maupun honorer. Penulis juga berharap pada para pendidik yang masih honor harus legowo karena jangan sampai kita mewariskan pendidikan boh bingko bagi anak cucu kita. Pemerintah daerah juga jangan menutup mata dengan persoalan ini, bagaimanapun para guru honorer telah berjasa bagi negeri. Jangan melimpahkan semuanya ke pemerintah pusat. proses perekrutan yang amburadur adalah dosa kita bersama. Semoga guru benar-benar menjadi profesi yang mulia di negeri ini.
*Qusthalani, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Aceh Utara