Oleh : Khairuddin
Riuhnya UU Cipta Kerja tidak membuat saya ikut-ikutan meramaikan, meski sebagai guru ASN, kami juga buruh pemerintah. Agak sumir dan menyakitkan ketika mengangkat pendapatan guru honorer yang sangat timpang dengan ketetapan di UU tersebut. Masih banyak gaji guru honor yang memperoleh pendapatan di bawah Rp. 300.000 per bulan, belum pola kerja yang aneh dengan pembayaran jumlah jam per minggu, sementara bekerja 4 atau 5 minggu per bulan. Belum lagi masa pandemi seperti ini, guru honorer yayasan dipangkas dan dirumahkan, karena pembayaran honorium guru masih bergantung pada SPP siswa. Syukur-syukur masa pandemi ada keluwesan pembayaran honorium guru bantu sekolah bisa luwes, meski tidak sebesar tuntutan buruh.
Saya memandang UU Cipta Kerja adalah konflik para cukong yang difasilitasi Pemerintah dan Legislatif. Tentu saja harus difasilitasi karena pengusaha sesungguhnya yang mengatur negeri ini. Sayangnya tokoh politik tidak sedikit mencari tenar saat sudah diputuskan, padahal dia ikut terlibat di awal keberadaan UU tersebut.
Guru dan Dosen sudah diatur dalam regulasi khusus, UU nomor 14 tahun 2005. UU ini mengangkat martabat guru, labelnya Guru menjadi Profesi yang diatur Undang-undang. Dampaknya sangat terasa, organisasi profesi guru lahir “pamit” dari PGRI. UU memungkinkan itu. Jadi kalau ada pemerintah daerah melarang keberadaan organisasi guru semisal IGI di daerahnya, berarti tidak paham produk hukum.
Di sisi lain, UU Gurdos (Guru dan Dosen) membuat kesejahteraan guru meningkat. Lahirnya Tunjangan Profesi Guru atau lebih dikenal dengan Uang Sertifikasi Guru membuat martabat guru meningkat, guru mulai banyak naik haji, mulai banyak membayar sendiri kegiatan pelatihan, rumah guru mulai layak, kenderaan guru mulai nyaman. Ayah ibu saya guru hingga pensiunnya hanya menyisakan motor dan rumah yang berayab. Gegara sertifikasi, profesi guru mulai dilirik oleh anak-anak tamatan SMA. Mungkin mereka melihat guru yang bekerja meski setiap hari, namun paruh waktu, meski tidak kaya namun tidak bisa pula digolongkan miskin.
Saya sendiri sejak 2014 pernah meminta sertifikasi dicabut, diganti dengan sesuatu yang permanen dan tidak menjadi komoditas politik. Bayangkan, UU memberi amanat guru harus sejahtera, tapi produknya adalah “tunjangan”. Perlu dipahami, tunjangan itu boleh saja ditarik kapanpun. Akibatnya sering menjadi mainan politik, siapapun jadi pemimpin negeri ini membawa isu sertifikasi untuk kesejahteraan guru. Lucu saja, ranahnya undang-undang kok bisa seenaknya bikin isu. Daripada membuat tunjangan, bayar saja menjadi gaji dua kali lipat, namanya gaji, pendapatan. Tapi pemerintah mungkin tidak berani, karena jika gaji, pasti berimbas pada tunjangan melekat dengan gaji termasuk gaji 13 dan pensiun yang membengkak.
Merujuk pada kata “Profesi”, maka pasti berimplikasi, setidaknya tiga (1) Sejahtera, (2) Berkompetensi, (3) Terlindungi. Sejahtera artinya sebagai profesi, guru tidak perlu lagi mencari penghasilan tambahan. Cukup mengajar saja, gaji guru cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk biaya pendidikan yang tinggi. Maka ketika menjadi profesi, tidak boleh ada guru honorer. Seperti dokter atau advokat, tidak ada dokter honorer. Maka guru honorer dengan pengabdiannya harus diangkat menjadi ASN bukan kontrakan. Di sisi lain, pemerintah wajib menyejahterakan guru karena amanah undang-undang. Setidaknya guru tidak lagi menjadi penanam saham di Bank Daerah demi menutupi kebutuhan hidup. Lalu berhutang sepanjang hayat dan mencari pekerjaan alternatif. Hingga akhirnya tidak mengajar lagi, karena alternatif menjadi pendapatan utama.
Kata profesi juga harus mendapat jaminan dari pemerintah, bahwa guru tidak bisa digantikan oleh sembarangan orang. Karena itu pemerintah wajib menjaga kualitas kampus pencetak guru agar melahirkan pendidik berkualitas. Termasuk ketika menjadi guru, pemerintah memastikan bahwa guru yang diangkat itu setiap berkala dijaga kualitasnya. Dengan kata lain, tidak boleh ada guru yang tidak diikutkan pelatihan peningkatan kapasitas. Semua guru harus pintar, bukan diancam harus mencerdaskan anak bangsa tapi tidak diikuti program holistik untuk meningkatkan kualitas guru. Kembali ibarat dokter, tidak boleh sembarangan tamatan kampus menjadi dokter. Bahkan guru harus seperti dokter, semakin punya keahlian lebih, seperti bisa menangani operasi, dokter dibayar mahal. Maka guri juga demikian, semakin berkualitas, semakin bisa mencerdaskan teman sejawat dan masyarakat terutama peserta didik, maka guru tersebut harus dibayar mahal.
Implikasi profesi juga harusnya membuat guru terlindungi. Nyaman ketika bekerja, memberikan tindakan edukatif bagi siswa. Dengan kata lain, ketika guru terindikasi bermasalah dengan siswanya, semisal memukul atau dipukul siswa, maka harus ada pendampingan atau mediasi internal. Tidak boleh langsung dibawa ke ranah hukum. Jika terbukti mal praktek mengajar, terutama ada tindakan kriminal, maka baru diteruskan ke wilayah hukum.
Organisasi profesi menjadi instrumen Kemendikbud memastikan bahwa impilkasi Profesi pada Guru sudah terlaksana dengan baik. Meski tidak akan menjadi bagian struktural Kemendikbud, organisasi profesi sejatinya bersinergi dengan pemerintah mengawal profesi guru tetap pada khittah sehingga pendidikan Indonesia menjadi lebih baik.
*Penulis merupakan Sekjend PP IGI