Siswa duduk di ruang kelas yang lantainya dipenuhi sisa lumpur banjir yang melekat di lantai di SMAN Sakti, Pidie.
Jaringanpelajaraceh.com–Pidie-JIKA kita telusuri 23 kabupaten/kota di Aceh, terutama daerah-daerah pedalaman ternyata masih banyak pendidikan di sana yang belum merata. Selama ini, kita melihat Pemerintah Aceh masih memprioritaskan pendidikan di perkotaan dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang ada di pedalaman. Bukan itu saja, bahkan guru-guru yang memiliki kualitas baik ditempatkan di perkotaan. Sehingga guru yang berkualitas di sekolah-sekolah pedalaman jumlahnya kurang memadai.
Meski demikian, mereka terlihat tetap semangat untuk mengabdikan diri demi mencerdaskan anak negeri. Tentu semangat saja tidak cukup. Pemerintah pusat harus merekrut guru-guru baru yang berkualitas untuk ditempatkan di daerah-daerah pedalaman, karena hingga saat ini masih banyak kekurangan guru. Tujuannya adalah untuk mengimbangi jumlah siswa yang jauh lebih banyak dari pada jumlah guru. Tentunya hal ini sedikit demi sedikit akan mengarah kepada pendidikan yang merata dan berkualitas baik di kota maupun di gampong.
Dengan adanya niat baik pemerintah, yaitu percepatan pendidikan yang merata dan berkualitas, maka hal itu sangat membantu seluruh sekolah untuk mencapai standar pendidikan Nasional, sehingga apabila semua sekolah sudah masuk standar Nasional berarti mutu pendidikan di Aceh tentunya akan lebih baik. Apabila semua sekolah khususnya SMA/SMK dan SLB yang dikelola oleh provinsi, sudah masuk sesuai dengan indikator capaian tingkat Nasional, itu baru dapat dikatakan pendidikan merata. Tapi harapan kita semua tentunya di atas standar Nasional.Sarana/prasarana terbatas
Tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas pendidikan didukung dengan adanya sarana dan prasarana yang menjadi standar sekolah atau instansi pendidikan yang terkait. Sarana dan prasarana sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar. Hal ini menunjukkan bahwa, peranan sarana dan prasarana sangat penting dalam menunjang kualitas belajar siswa.
Akan tetapi kenyataanya sampai saat ini terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara sekolah yang berada di kota dengan di daerah pedalaman. Sekolah di kota sudah memiliki fasilitas laboratorium komputer, maka anak didiknya secara langsung dapat belajar komputer. Sedangkan sekolah di desa tidak memiliki fasilitas itu dan tidak tahu bagaimana cara menggunakan komputer, kecuali mereka mengambil kursus di luar sekolah.
Perbedaan lainnya, sekolah di kota ada ruang multimedia yang dilengkapi WiFi, pustaka digital, ruang laboratorium musik, dan sebagainya. Sedangkan sekolah di pelosok hanya memakai sarana yang jauh ketinggalan, yaitu sarana alam. Banyak gedung sekolah yang berada di pedalaman masih belum diperbaiki oleh pihak pemerintah, tetapi gedung sekolah di perkotaan terus mengalami perbaikan. Hal ini penulis saksikan langsung saat melakukan penelitian terhadap beberapa sekolah yang berada di daerah pedalaman. Miris sekali memang dengan situasi seperti ini.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Ketua Koalisi Barisan Guru Bersatu (Kobar-GB) Aceh, Sayuti Aulia, yang menilai Pemerintah Aceh masih memprioritaskan pendidikan di kawasan perkotaan, khususnya di ibu kota provinsi. Sementara sekolah di daerah-daerah pedalaman sampai saat ini masih mengalami kekurangan guru. Sekolah percontohan atau sekolah-sekolah unggul diisi oleh guru-guru pilihan dengan fasilitas pembelajaran terbaik hanya terdapat di kota. Sedangkan sekolah biasa khususnya di daerah terpencil atau daerah pinggiran, siswanya masih belajar dengan fasilitas seadanya.
Sayuthi juga menilai bahwa selama ini sekolah unggul hanya diperuntukan bagi kalangan ekonomi kelas menengah ke atas, karena biaya yang mahal tidak mampu dijangkau oleh masyarakat miskin. Untuk diketahui, setiap mata pelajaran memiliki karakter yang berbeda dengan pelajaran lainnya. Dengan demikian, masing-masing mata pelajaran juga memerlukan sarana pembelajaran yang berbeda pula.
Dalam menyelenggarakan pembelajaran guru pastinya memerlukan sarana yang dapat mendukung kinerjanya sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. Dengan dukungan sarana pembelajaran yang memadai, guru tidak hanya menyampaikan materi secara lisan, tetapi juga dengan tulisan dan peragaan sesuai dengan sarana/prasarana yang telah disiapkan oleh guru dalam pembelajaran.
Belajar dari Finlandia
Barangkali tidak ada salahnya jika kita mau belajar dari Negara lain yang pendidikannya sudah jauh lebih maju dari kita. Finlandia, misalnya, saat ini pendidikan di Negara itu menempati rangking nomor 1 di dunia. Bagaimana bisa? Menurut Prof Erno August Lehtinen Ph.D, seorang guru besar pendidikan dari Universitas Turku, Finlanda, anak-anak di Finlandia tidak diizinkan sekolah sebelum berumur 7 tahun. Pada saat anak-anak di sana diterima di sekolah dasar (SD), mereka hanya belajar 3-4 jam sehari. Waktu istirahat mencapai 75 menit. Guru sangat jarang memberikan PR bahkan tidak ada PR.
Sekolah tidak menerapkan sistem rangking hingga tidak ada Ujian Nasional (UN) untuk 9 tahun pertama sekolah, tetapi UN dilaksanakan di sekolah menengah. Artinya Pendidikan Finlandia sangat menghargai kebebasan anak bermain dan melakukan hal lain dibanding hanya duduk di dalam kelas pada awal-awal tingkat sekolah. Waktu belajar di sekolah tidak terlalu lama karena kualitas pengajaran lebih penting dari pada lamanya waktu belajar. Tekanan dan stress diusahakan lebih sedikit dengan tidak membebani siswa dengan pekerjaan rumah sehingga lebih kuat motivasi dan pengembangan belajarnya.
Pada pendidikan dasar difokuskan pada pengembangan kepribadian, bukan skill atau belajar konten kurikulum secara spesifik. Mata pelajaran Matematika dianggap penting untuk pendidikan dasar, namun lebih banyak praktik yang dikombinasikan dengan suasana ilmiah. Pada pendidikan dasar, pelajaran sains masih umum, dan pendidikan menengah lebih khusus. Finlandia menerapkan sistem kelas inklusif atau tidak membeda-bedakan antara siswa pintar atau yang berkebutuhan khusus. Untuk mereka yang berkebutuhan khusus perlu diperhatikan secara khusus oleh guru. Kuncinya adalah skill dan kualifikasi guru.
Dalam momen tertentu, tidak hanya 1 guru di dalam ruang kelas, tapi ada orang dewasa lain yang membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. Untuk menghindari bullying pada kelas inklusif, Finlandia membuat program khusus yang disebut Kiva Koulu. Program ini efektif mengurangi bullying pada tingkat sekolah 4-6. Untuk situasi normal, siswa di kelas maksimal 20 orang untuk tingkat dasar, dan 20-30 untuk pendidikan menengah dengan satu orang guru yang mengajar. Dalam situasi khusus, ada guru kelas dan guru pendidikan khusus saling bekerja sama.
Di Finlandia guru sangat bernilai di dalam budaya masyarakat. Guru sama bergengsinya seperti layaknya dokter atau pengacara. Finlandia menerapkan sistem belajar gratis dari pendidikan dasar hingga doktoral bagi warga negaranya dan warga negara Uni Eropa. Biaya pendidikan bersumber dari pajak yang menerapkan sistem pajak porogresif berbasis pendapatan. Jika gaji rendah, pajak juga rendah, pendapatan menengah dan tinggi bisa mencapai 50% dari penghasilan yang diterima.
* Dr. Murni, S.Pd,I. M.Pd., Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Sekretaris Umum Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh (LP2A). Email: murni166@yahoo.co.id