Jaringanpelajaraceh – Beberapa pemain muslim masih tinggal di Brasil, mereka masih akan terlibat dalam pertarungan ketat perdelapan final dan bahkan seterusnya padahal Ramadan sudah tiba. Bagaimana nasib mereka? Akankah terus berpuasa? Terus, bagaimana sebenarnya nasib pemain muslim di liga Eropa?
“Apa? Puasa? Anda tidak lihat cuacanya seperti apa? Bisa mati saya.” Kata Yaya Toure ketika ditanya wartawan tentang kemungkinan dia melakoni laga piala dunia sambil berpuasa. Sekarang Yaya boleh bernafas lega karena negaranya tidak perlu tampil di babak perdelapan final yang berarti dia boleh pulang dan menjalankan ibadah puasa seperti seharusnya seorang muslim.
Untuk pertama kalinya sejak 28 tahun piala dunia kembali bersinggungan dengan bulan Ramadan, bulan suci bagi umat muslim, bulan yang mewajibkan setiap umat muslim untuk berpuasa dari sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Babak 16 besar yang dihelat Sabtu ini juga bersamaan dengan hari pertama Ramadan 1435 H.
Aljazair adalah satu-satunya negara yang pemainnya mayoritas muslim yang lolos ke 16 besar. Tapi, selain mereka ada juga beberapa pemain Eropa dan Afrika yang menganut ajaran Islam seperti Karim Benzema, Mezut Oezil, Adnan Januzaj dan beberapa pemain timnas Nigeria. Tahun ini para pemain muslim itu tampaknya sudah membulatkan tekad untuk tidak berpuasa di hari pertandingan. Tekanan berat pertandingan piala dunia ditambah dengan cuaca yang menguras tenaga jadi alasan buat mereka untuk melewatkan puasa, setidaknya ketika negara mereka tampil di lapangan hijau.
Di Mexico 1986 ada tiga negara mayoritas muslim yang bermain tepat di bulan Ramadan. Ketiganya adalah Iraq, Aljazair dan Maroko. 4 tahun sebelumnya ada Kuwait yang mewakili Asia di pesta piala dunia 1982 yang sebagian pertandingannya juga dilangsungkan di bulan Ramadan. Carlos Alberto Pareira pelatih Kuwait kala itu mengungkapkan kalau sebenarnya para pemain sudah diberitahu untuk tidak usah berpuasa di hari pertandingan namun beberapa pemain bersikeras dan enggan meninggalkan kewajiban mereka.
“Mereka sebenarnya bisa saja menunda berpuasa sampai turnamen berakhir, tapi sebagian dari mereka memaksakan diri saat pertandingan yang bertepatan dengan hari ketiga atau keempat bulan puasa. Ini sebenanya bukan kondisi yang ideal buat para atlet, tapi itu pilihan mereka dan saya sangat menghargainya.” Kata Carlos Alberto. Saat bertanding dalam keadaan berpuasa, Kuwait akhirnya menyerah pada Inggris 0-1.
Di pihak lain Carlos Queiroz yang menukangi Iran bercerita kalau awalnya kebiasaan berpuasa ini sempat mengganggu persiapan timnya. “Dalam beberapa pertandingan kualifikasi kami sempat berhadapan dengan masalah seperti ini. Jadi kami sudah siap dengan kondisi ini, ada banyak cerita panjang yang menambah pengetahuan kami. Bermain di piala dunia dengan kemungkinan bersamaan dengan bulan Ramadan bukan lagi sebuah masalah.” Kata Carlos Queiroz seperti dikutip The National.
*****
Sebelum dekade 90an Eropa sebagai pusat sepak bola dunia rasanya tidak terlalu mengenal para pemain muslim, pun mereka masih awam pada ritual dalam agama Islam. Tahun 1992 saja ketika Premiere League baru digulirkan tercatat baru Nayim satu-satunya pemain muslim yang bermain untuk Tottenham Hotspur. Tapi lihatlah sekarang, liga Inggris dianggap sebagai liga besar Eropa dengan jumlah pemain muslim terbanyak bersanding dengan liga Perancis. Beberapa nama pemainnya bahkan tergolong pemain bintang seperti Mezut Oezil dan Ba.
Awalnya publik Eropa mengalami geger budaya ketika liga mereka mulai dibanjiri pemain muslim, utamanya ketika bulan Ramadan tiba yang berbarengan dengan pertandingan keras di liga domestik. Tahun 2003 Christian Negouai akhirnya rela didenda 2000 pound setelah gagal menjalani tes urin. Negouai kala sama sekali tidak bisa mengeluarkan urinnya karena sedang berpuasa. Negouai sudah menjelaskan pada Kevin Keegan, pelatih Manchester City kala itu tapi Keegan malah memintanya untuk minum. Daripada membatalkan puasa, Negouai lebih memilih membayar denda. Belakangan Keegan yang baru mengerti tentang puasa meminta maaf atas tindakannya.
Tindakan yang kurang lebih sama juga pernah dialami oleh legenda Inggris Gary Lineker. Ketika melihat seorang pemain muslim melakukan selebrasi dengan bersujud dia kontan menjulukinya sebagai “eat grass celebration” merujuk pada gaya sang pemain yang seperti sedang memakan rumput. Belakangan Gary memohon maaf karena mengaku tidak tahu sama sekali kalau selebrasi seperti itu bernama sujud, sama dengan gerakan sholat dalam agama Islam.
Dulu, rata-rata orang Eropa memang belum paham betul tentang Islam dan ajarannya. Mereka merasa aneh ketika beberapa pemain muslim memaksakan diri untuk berpuasa, padahal tak jarang waktu berpuasa di Eropa bisa sampai 18 jam. Bayangkan bila harus sahur jam 4 subuh dan buka puasa jam 8 malam, bagi orang Eropa tidak makan dan minum selama itu adalah sebuah perbuatan gila.
Youssef Safri, gelandang Maroko yang pernah bermain di liga Inggris mengaku tidak ada masalah karena dia sudah terbiasa menyesuaikan diri dengan berpuasa meski harus tetap bertanding. Beberapa pemain lainnya juga tetap memaksakan diri berpuasa di hari pertandingan meski ada juga yang rela tidak berpuasa ketika harus turun ke lapangan membela timnya.
“Ketika puasa tiba dan saya harus bertanding, saya memilih untuk tidak berpuasa. Ayolah, saya harus tampil bagus buat klub saya. Saya yakin Tuhan mengerti pada pilihan saya.” Ujar Kolo Toure yang kala itu bermain untuk Arsenal.
Secara medis 3 hari pertama berpuasa memang sangat mempengaruhi tubuh. Ketika itu tubuh mulai melakukan proses detoxifikasi, mengeluarkan racun-racun dalam tubuh. Proses ini berdampak pada lemasnya badan, kepala pusing dan gangguan pendengaran serta penglihatan. Tapi gangguan ini akan hilang ketika puasa mulai memasuki minggu pertama. Ketika semua racun dalam tubuh sudah dikeluarkan maka hasilnya tubuh akan jadi lebih kuat.
Sejak 2005 FIFA memasukkan puasa Ramadan sebagai bagian dari kampanye anti rasisme mereka seiring dengan makin banyaknya pemain muslim yang bermain di liga-liga top Eropa. Di Inggris sendiri klub Tottenham, Arsenal dan Fulham dikenal sebagai klub yang paling toleran pada para pemain muslim. Arsenal bahkan menyiapkan ahli gizi khusus untuk para pemain muslim ketika mereka tetap memilih berpuasa di bulan Ramadan.
Di Manchester City kita pernah tahu cerita ketika Yaya Toure menolak botol sampanye yang diberikan rekan seklubnya sebagai bagian dari penghargaan ketika mereka meraih juara premiere league. Dalam Islam, alkohol tentu diharamkan dan inilah yang kemudian jadi pertimbangan FA untuk mengganti cindera mata dalam bentuk sebotol kampanye kepada setiap pemain yang klubnya menjadi juara dengan piala kecil sebagai gantinya.
Pemain Liverpool juga pernah memberikan penghargaan yang sama pada staff pelatih mereka yang muslim. Saat meraih juara League Cup tahun 2012 beberapa pemain dengan sadar memindahkan pakaian sang staff dari ruang ganti agar tak terkena semprotan alkohol dalam perayaan kemenangan.
Di Jerman klub Bayern Munchen pernah jadi perbincangan ketika mereka dengan besar hati menyiapkan satu ruangan khusus untuk dijadikan mushallah atas permintaan bintang mereka yang juga muslim, Franck Riberry.
Eropa memang makin melek pada perbedaan ini, utamanya pada tradisi dan ritual para pemain muslimnya karena sepakbola memang harusnya menjadi milik siapa saja dan bisa dinikmati oleh siapa saja. Tahun ini piala dunia bersinggungan dengan awal Ramadan, beberapa pemain muslim yang masih berlaga nampaknya kesulitan untuk berpuasa di hari pertandingan mengingat ketatnya persaingan dan cuaca yang tidak mendukung. Itu adalah keputusan pribadi mereka, sesuatu yang harus kita hormati.
Bagaimana dengan Anda? Sudah siap berpuasa di bulan suci ini? Selamat berpuasa kawan, semoga amal ibadah kita diterima di sisi-Nya.
Sumber : Kompas.com