X
    Categories: Artikel

Sarjana Pendidikan, Produksi Siapa?

Oleh : Dr. Asbaruddin, S.TP., MM., M.Eng

Apakah rendahnya kualitas guru di Aceh dipengaruhi oleh rendahnya kualitas Sarjana Pendidikan? Bila hanya dilihat dari satu indikator saja mari kita jawab pertanyaan ini, sebagai evaluasi indikator tersebut.

Pertama apresiasi kami kepada kepala sekolah dan guru-guru Aceh yang hebat dan telah mengantarkan mutu pendidikan Aceh lebih baik. Tentu ini wajib disampaikan tanda kita orang timur yang penuh dengan sopan santun.

Tolak ukur mutu atau kualitas pendidikan Aceh tidak bisa dilihat hanya dari hasil evaluasi Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UTBK SBMPTN) setiap tahun, yang diikuti oleh para lulusan SMA sederajat.

Pengertian pendidikan memang sangat beragam, indikatornya juga demikian tergantung siapa yang punya kepentingan dan siapa yang akan dijatuhkan. Tetapi yang jelas tujuan utama pendidikan adalah transformasi ilmu, kecakapan, dan nilai. Salah satu pengertian pendidikan yang dijelaskan Hamka Abdul Aziz, bahwa pendidikan adalah proses transformasi-dialogis antara peserta didik dengan pendidik dalam semua potensi kemanusiaannya sehingga menumbuhkan kesadaran, sikap, dan tindakan kritisnya. Lepas dari beragam pengertian, makna pendidikan adalah proses humanisasi (pemanusiaan) manusia.

Jika sepakat dengan pengertian pendidikan di atas, maka hakikatnya indikator keberhasilan pendidikan sejatinya lebih dominan ke arah Afektif (sikap, akhlakul karimah atau moralitas) para lulusannya, disamping tidak mengabaikan keilmuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik). Semoga kita sepakat moralitas menjadi fondasi dasar dalam membengun manusia yang tangguh.

Secara normatif, dalam Islam, keberhasilan manusia diukur dari akhlak dan kualitas amalnya. Alasannya sangat sederhana karena akhlak adalah simbol utama kemanusiaan. Ini pula yang menjadi modal utama manusia dalam menjalin komunikasi sosial dan alat kontrol atas capaian intelektual seseorang sehingga pengetahuannya tidak disalahgunakan.

Tolak ukur keberhasilan pendidikan adalah moralitas dan karakter peserta didik, bila gagal dibentuk, itu artinya proses pendidikan gagal total dengan kata lain mutu pendidikan rendah. Bila tidak lulus perguruan tinggi negeri (PTN) bukan berarti mutu pendidikan rendah. Keselarasan dan harmonika sosial, serta  dinamika pembangunan tidak akan berjalan baik, bahkan berpotensi gagal karena dikendalikan oleh individu-individu cerdas tetapi egois dan hedonis-materialis.

Kenyataannya, pendidikan yang pada hakikatnya untuk membentuk manusia yang berkarakter tampaknya belum berhasil di Indonesia saat ini karena kita selalu membanggakan serapan masuk PTN dan mengabaikan akhlakul karimah. Pendidikan kita baru melakoni misi yang paling rendah dalam pendidikan, yaitu transformasi ilmu dalam upaya pengembangan intelektual, sementara misi moral masih tercecer diantara jalan terjal mimpi dan kenyataan, pertanyaannya siapa yang peduli?.

Data, fakta, dan sederetan peristiwa memperlihatkan perilaku korupsi kaum terdidik, produk ijazah palsu,, birokrasi uang rokok, dan perilaku lain yang hampa dari muatan akhlakul karimah, dan pola hidup materialisme-hedonistis yang semakin menguat. Tidak bisa dipungkiri, pelaku utama dari itu semua adalah orang cerdas yang merupakan lulusan dari lembaga pendidikan.

Ilmuan tidak boleh hanya memandang rangking dari jalur saintek, humaniora atau perspektif lain, ilmuan harus menjadi illmuan sejati yang tidak menghakimi dari satu sudut padang sajal. Ternyata dalam ujian masuk perguruan tinggi tidak menilai bagaimana afektif, hanya menilai kognitif dan menafikan psikomotorik lulusan, pasti ini keliru.

Disisi lain kita harus saling intropeksi diri,  perguruan tinggi universitas syiah kuala sebagai penyumbang guru di Aceh 75% wajib introspeksi diri, apakah proses pendidikan bagi guru telah dilaksanakan dengan baik sehingga tamatannya dapat dipakai untuk sekolah-sekolah yang ada di Aceh. Ternyata juga masih buram dengan nilai akreditasi program studi kebanyak B. Tidak saling menyalahkan tetapi saling introspeksi diri,, duk pakat dalam Bahasa Aceh.

Penulis Merupakan Kacabdin Wilayah Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil

fitriadi:
Related Post