X
    Categories: Artikel

Secercah Harapan Pendidikan Indonesia

Pada tanggal 2 Mei 1984, Presiden RI Soeharto mencanangkan program Wajib Belajar. Harapan Presiden saat itu adalah agar anak-anak Indonesia dapat mengenyam pendidikan sehingga dapat memajukan bangsa dan menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat.

Wajib Belajar bukan hanya berdampak pada keharusan anak-anak Indonesia untuk belajar, melainkan juga pada tuntutan pengelolaan pendidikan yang baik oleh negara.

Hanya saja, pengelolaan pendidikan oleh negara demi mewujudkan program itu berada pada titik yang kurang menyenangkan. Berdasarkan data Human Development Research yang diterbitkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) sampai tahun 2013, Education Index Indonesia adalah 0,603 berada pada peringkat 103 dari 187 negara atau berada pada peringkat 5 level ASEAN di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Melihat dari index tersebut, tugas pemerintah tentu sangatlah berat dalam meningkatkan mutu pendidikan Indonesia.

Pendidikan yang baik haruslah dinikmati oleh seluruh anak Indonesia secara merata. Hal ini didasarkan pada teori keadilan sebagai kesamaan (egalitarian) yang merumuskan bahwa tidak ada perbedaan di antara semua orang dalam mendapatkan kemanfaatan atas seuatu hal.

Teori ini menyatakan kesamaan sebagai unsur dari keadilan. Oleh karena itu, pendidikan yang adil adalah pendidikan yang dapat dinikmati dan memberi kemanfaatan pada anak-anak Indonesia.

Pendidikan yang baik juga telah diatur dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) dan sebagai salah satu dari hak-hak dasar yang harus diberikan kepada anak-anak Indonesia. Hal ini adalah penerapan dari hak dan kewajiban kontraktual antara negara dan warga negara.

Perjanjian kontraktual ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian akan tanggung jawab masing-masing pihak. Negara sebagai pemilik kewajiban harus menyelenggarakan pendidikan yang baik dan warga negara sebagai pemilik hak sekaligus kewajiban dalam mengikuti pendidikan yang baik.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi permasalahan pendidikan di Indonesia? Padahal jika melihat pada dana yang dianggarkan oleh APBN, anggaran untuk pendidikan adalah sebesar 20 persen dari total APBN. Hal ini telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (4) yang diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang keharusan negara dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah anggaran tersebut telah memberi kemanfaatan pada pendidikan Indonesia sebagai aplikasi due care theory?
***
Anggaran pendidikan yang besar seharusnya direncanakan dengan teliti, dikelola secara hati-hati (prudent), dan diawasi dengan tepat sehingga dapat memberikan social benefit bagi masyarakat dan dunia pendidikan.

Salah satu tujuan penggunaan anggaran pendidikan adalah untuk membiayai tunjangan profesi guru. Pemberian tunjangan profesi guru dimaksudkan sebagai bentuk motivasi dalam bekerja dan diharapkan kesejahteraan guru akan meningkat.

Hal ini akan berdampak pada peningkatan kualitas guru dalam memberikan pengajaran dan keteladanan. Pemberian tunjangan ini juga mendukung dalam pencegahan triangle fraud theory yang mendasarkan pada pressure, opportunity, dan rasionalisasi.

Akan tetapi, pemberian tunjangan profesi guru ini memunculkan masalah baru. Seorang guru mungkin saja lebih mementingkan haknya untuk mendapatkan tunjangan tersebut daripada menunaikan kewajiban utamanya sebagai pendidik.

Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya tugas adminitrasi yang harus dilengkapi sertatuntutan akan jumlah jam mengajar minimal. Teori substance over form sebagai salah satu teori akuntansi bisa diterapkan dalam pandangan tugas seorang guru.

Maksudnya, seorang guru dikatakan telah melaksanakan kewajibannya dengan baik apabila mampu berperan sebagai pendidik dalam pembelajaran maupun dalam karakter siswa daripada hanya sekedar memenuhi tugas administrasi dan megajar dengan jumlah jam mengajar yang banyak. Oleh karena itu, seorang guru seharusnya meningkatkan kualitas keilmuannya guna mendukung substansi tugas seorang guru.

Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah menyebutkan bahwa jumlah jam mengajar minimal bagi guru yang memperoleh tunjangan profesi adalah 24 jam mengajar.

Artinya, seorang guru dengan jam mengajar kurang dari 24 jam maka guru tersebut tidak berhak untuk mendapatkan tunjangan profesi. Akibatnya, seorang guru dapat saja akan lebih mementingkan jumlah jam mengajar agar memenuhi persyaratan untuk mendapatkan tunjangan profesi daripada meningkatkan kualitasnya.

Penulis berpendapat bahwa seharusnya guru tetap terjamin mendapatkan tunjangan profesi meski jumlah jam mengajar tidak mencapai 24 jam. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah jam mengajar bukanlah satu-satunya indikator untuk menilai kesungguhan seorang guru dalam mengajar dan untuk menilai kesuksesan pendidikan. Warga negara sebagai konsumen dari pendidikan harus terjamin pemenuhannya oleh negara.

Menurut due care theory, pemerintah sebagai pihak yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan pendidikan yang baik dan berkeadilan wajib memberikannya secara bertanggung jawab kepada semua lapisan masyarakat.

Oleh karena itu, penulis berpendapat seharusnya terdapat penyederhanaan dalam tugas administrasi seorang guru dan jaminan pemberian tunjangan profesi pada guru yangmemiliki jumlah jam mengajar kurang dari 24 jam.

Tunjangan seharusnya diberikan secara profesional dan proporsional. Profesional artinya tunjangan diberikan karena kesuksesan guru dalam pembelajaran sedangkan proporsional artinya tunjangan diberikan berdasar pada proporsi tanggung jawab seorang guru.

Penyederhanaan beban administrasi dan jaminan pemberian tunjangan profesi pada gurujuga dapat berdampak pada peningkatan kualitas keilmuan seorang guru. Seorang guru akan dapat lebih mengalokasikan waktu untuk memperdalam dan meng-update ilmu yang dimiliki.

Selain itu, seorang guru juga lebih bisa melakukan penelitian dan penulisan untuk pembuktian ilmu yang telah dipelajari. Dengan adanya peningkatan mutu seorang guru, diharapkan dapat menciptakan anak-anak Indonesia yang bermutu.

Pendidikan harus dibenahi. Seorang guru harus mempebaiki misi, visi, dan paradigma dalam mengajar. Seorang guru tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan administrasi, tuntutan jam mengajar, dan menuntaskan kurikulum yang telah ditetapkan demi tunjangan profesi, tetapi seorang guru harus dapat berperan sebagai pengajar, pendidik, sekaligus pemberi keteladan bukan hanya bagi murid-muridnya melainkan juga bagi lingkungannya. Seorang guru adalah pahlawan bangsa yang harus kita hargai jasa-jasanya.

Oktora Senatria Yudha
Mahasiswa Magiter Akuntansi Universitas Gadjah Mada

(sumber:http://wartakota.tribunnews.com)

Ella Ella:
Related Post