close

naifastia sari

Berita Terkini

Rahmah Abdullah, Anugerah Insan Pendidikan

Rahmah Abdullah

JARINGANPELAJARACEH.COM Penghargaan Insan Pendidikan memang layak diberikan kepada Rahmah Abdullah SH. Istri Bupati Aceh Besar Mawardi Ali ini memang dikenal luas di kalangan insan pendidikan kabupaten ini. Rahmah kerap membagikan ide-idenya untuk memajukan pendidikan, terutama bagi anak usia dini. Salah satu prestasi Rahmah Abdullah adalah Juara III Umi PAUD tingkat Provinsi Aceh tahun 2018.

Penghargaan Insan Pendidikan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Aceh Besar ini diberikan kepada Rahmah Abdullah SH pada malam anugerah Insan Pendidikan tahun 2019 di Aula SMK Al Mubarkeya, Sabtu malam 7 September 2019 lalu. Acara ini merupakan rangkaian dari Hardikda Ke 60 di Aceh Besar.

Perempuan kelahiran Meunasah Deyah tanggal 6 April 1976 ini merupakan jebolan S1 Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Pada tahun 2001, Rahmah dipersunting oleh Ir Mawardi Ali, pria kelahiran Siem, Darussalam, Aceh Besar, 2 Januari 1969.

Rahmah dan Mawardi yang saat ini tinggal di Desa Meunasah Baro Kecamatan Ingin Jaya, kini telah dikaruniai tujuh orang buah hati. Putra pertama, kedua, dan ketiga mereka yaitu Maulana Akbar, Ahmad Ghafari, dan Zakiyal Fahmi saat ini menempuh pendidikan di dayah/sekolah berasrama (boarding school).

Tiga lainnya masih duduk di tingkat sekolah dasar yaitu, Muhammad Ali Assidiqi, Rizki Mubarak, dan M Arif Hidayat. Sementara si bungsu, Syahrul Ridha masih belajar di PAUD.

Bisa dibayangkan betapa sibuknya Rahmah mengurus tujuh buah hati yang semuanya laki-laki. Tapi, Rahmah bisa menjalani semua itu dengan baik. Bahkan, si sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, Rahmah masih bisa membagi waktu untuk mengurus tugas sebagai istri bupati dengan jabatan yang melekat, seperti Ketua Tim Penggerak PKK Aceh Besar, Ketua Dekrasda, dan Bunda PAUD.

Hebatnya lagi, di sela-sela semua kesibukan itu, Rahmah masih bisa berkontribusi, memberi saran dan masukan dalam memajukan pendidikan di Aceh Besar. “Betapa pun sibuknya kita, kodrat sebagai ibu rumah tangga (IRT) jangan pernah kita lupakan,” ungkap Rahmah ketika Serambi menanyakan kiatnya membagikan waktu.

Menurutnya, semua tugas-tugas itu ia jalani dengan tulus ikhlas sebagai pengabdian kepada suami serta masyarakat yang dipimpin oleh suaminya. Ia telah terlatih menjalani tugas itu, semenjak suaminya Mawardi Ali mulai mengukir karir politiknya sebagai anggota DPRK Aceh Besar periode 1999-2004 dan 2004-2009.

Setelahnya, Rahmah kembali menjalani pengabdian ke jenjang lebih tinggi, mendampingi suaminya sebagai Anggota DPR Aceh periode 2009-2014 dan 2014-2016. Maka, ketika suaminya terpilih sebagai Bupati Aceh Besar pada Pilkada 2017, Rahmah sudah benar-benar siap untuk memberikan pengabdiannya, terutama di bidang pendidikan bagi ibu-ibu dan anak-anak usia dini.

Sumber: https://aceh.tribunnews.com

 

 

read more
Berita Terkini

Kenapa BJ Habibie Jenius? Ternyata Alwi Abdul Djalil Habibie Jawabannya

JARINGANPELAJARACEH.COM SERAMBINEWS.COM, JAKARTA – Presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia.

Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 itu meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Sebelum meninggal, keluarga dekat sudah berkumpul di RSPAD Gatot Soebroto, tempat Habibie dirawat. Informasi mengenai Habibie meninggal dunia disampaikan putra Habibie, Thareq Kemal. Diketahui, Habibie telah menjalani perawatan intensif di rumah sakit sejak 1 September 2019. Putra Presiden ke-3 RI Bacharudin Jusuf Habibie, Thareq Kemal Habibie, mengonfirmasi meninggalnya sang ayah. “Dengan sangat berat, mengucapkan, ayah saya Bacharudin Jusuf Habibie, Presiden ke-3 RI, meninggal dunia jam 18.05 WIB,” ujar Thareq di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Anak cerewet dan ingin tahu

Siapa tak kenal Prof Baharuddin Jusuf Habibie Dipl Eng. Presiden RI ke-3 periode 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999, dan sebelumnya pernah menjabat wakil presiden, Menteri Riset dan Teknologi serta berbagai jabatan strategis lainnya semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Namun, yang paling fenomenal adalah kejeniusannya dalam bidang teknologi penerbangan sehingga ia memperoleh gelar doktor di Jerman.

Salah satu penemuan yang sampai sekarang dipakai oleh semua pesawat di dunia adalah apa yang disebut – “Crack Progression Theory” atau faktor Habibie.

Dilansir dari laman Sahabat Keluarga Kemendikbud, kejeniusan Habibie telah terbentuk sejak kecil. Selain karena keenceran otaknya, juga karena hasil didikan dan gemblengan ayahnya, Alwi Abdul Djalil Habibie. Dalam buku biografi BJ Habibie berjudul “Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner” yang ditulis Gina S Noer dan diterbitkan tahun 2015, Rudy, nama kecil BJ Habibie digambarkan sebagai anak yang selalu cerewet, dan ingin tahu segala sesuatu.

Sejak berusia 2-3 tahun, Rudy adalah anak yang selalu ingin tahu dan menanyakan segala sesuatu yang ditemui dan dilihat pada ayahnya. Apapun dilihat, ingin ia diketahui penyebabnya dan kenapa begini kenapa begitu. Menjawab serius dan sederhana Ayahnya, Alwi Abdul Djalil Habibie, adalah yang pertama ditanya Rudy, nama kecil BJ Habibie.

Ayahnya pun selalu menjawab dengan serius tapi dengan cara yang sesederhana mungkin sehingga Rudy kecil juga mengerti dan paham. Suatu contoh, suatu waktu saaat berusia 3 tahun, Rudy menanyakan, apa yang dilakukan ayahnya dengan menggabungkan kedua pohon yang berbeda atau tak sejenis. Ayahnya memang menjabat landbouwconsulent atau setara dengan Kepala Dinas Pertanian di Pare Pare, Sulawesi Selatan.

Ayahnya tidak kesel dengan pertanyaan Rudy tersebut, tapi menjawabnya dengan serius. Ia tak menjawab dengan jawaban yang sederhana, tetapi menjawabnya dengan serius tapi dengan cara yang sesederhana mungkin sehingga anak kecilpun tahu.

“Papi sedang melakukan eksperimen, jadi kita bisa menemukan jawaban dari percobaan. Nah, ini namanya setek. Batang yang di bawah itu adalah mangga yang ada di tanah kita, tapi rasanya tidak seenak mangga dari Jawa. Jadi, batang Mangga dari jawa, Papi gabungkan dengan batang yang di bawah ini”, kata ayahnya.

Rudy kembali bertanya, “Mengapa Papi gabungkan?” Jawaban ayahnya: “Agar kamu dan teman-teman bisa makan Mangga yang enak”.

Lalu Rudy bertanya lagi: “Kalau gagal bagaimana?”. Jawaban ayahnya: “ Kita cari cara lain dan pohon Mangga lain agar bisa tumbuh di sini”.

Rudy pun puas atas jawaban ayahnya itu. Itulah yang selalu dilakukan ayahnya setiap kali Rudy bertanya segala sesuatu, dijawab dengan cara sesederhana mungkin agar bisa dipahami anak kecil. Dengan cara itulah, keingintahuan Rudy terus tumbuh dan terasah sampai dewasa.

Cinta pertama Habibie: buku

Namun, ayahnya tidak setiap saat selalu ada saat Rudy ingin bertanya sesuatu. Hasilnya, usia 4 tahun, Rudy sudah lancar membaca dan rajin melahap buku-buku yang disediakan ayahnya. Pendek kata, sejak usia empat tahun, buku menjadi cinta pertama Rudy dan membaca menjadi bagian hidupnya. Rudy membaca buku apa saja, mulai ensiklopedia sampai buku cerita. Buku-buku karya Leonardo Da Vinci dan buku fiksi ilmiah karya Jules Verne menjadi buku-buku favorit Rudy.

Rudy pun senang sekali membuka buku-buku dalam bahasa Belanda. Setiap menemukan kata-kata yang sulit dan tak dipahami, Rudy tak segan bertanya pada orang tuanya sehingga akhirnya orang tuanya membelikan kamus Indonesia-Belanda sehingga bisa belajar sendiri.

Kegemarannya membaca ini rupanya berefek samping. Rudy jadi terus mengurung diri di kamar dan harus dipaksa untuk keluar. Rudy juga menjadi anak yang gagap karena tidak terbiasa berbicara dengan orang di luar rumah.

Literasi baca dan sains

Apa yang dilakukan Alwi pada Rudy merupakan salah salah praktek penanaman kebiasaan membaca di rumah, yang lebih spesifik lagi, cara Alwi menjawab setiap pertanyaan anaknya itu merupakan salah satu metode penanaman literasi sains di keluarga. Melalui cara Alwi tersebut, Rudy tumbuh menjadi manusia yang gemar mencari setiap masalah dan menemukan solusinya, termasuk dalam teknologi kedirgataraan yang membuatnya menjadi pakar ilmu penerbangan yang terkenal di dunia.

Saat peluncuran buku biografinya “Rudy, Kisah Masa Muda Sang Visioner” (12/10/2015) BJ Habibie mengatakan: “Saya dari lahir, cuma butuh tidur empat jam, selebihnya yang dua puluh jam, panca indera saya menyerap lingkungan sekitar dan bertanya-tanya,” kata Habibie. Karena panca inderanya sangat aktif, lanjut Habibie, saat kecil dirinya sudah mulai bertanya-tanya dan kalau tidak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan, ia pun menangis.

Sumber: aceh.tribunnews.com dan Kompas.com

 

 

 

read more
Berita Terkini

Pembangunan SDM dan Komitmen Pemerintah Daerah

Foto: Grandyos Zafna

JARINGANPELAJARACEH.COM Jakarta – Tantangan terbesar yang dihadapi dalam program pembangunan sumber daya manusia adalah komitmen dari pemerintah daerah sebagai pengelola pendidikan dasar bagi pemerintah kota/kabupaten dan sebagai pengelola pendidikan menengah untuk pemerintah provinsi seperti yang diatur dalam UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Artinya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemerintah pusat bukanlah pelaksana dari program-program pendidikan. Dengan kata lain, Kemdikbud tidak memiliki sekolah, tenaga pendidikan, maupun siswa; mereka hanya membuat kebijakan dan menyusun kurikulum saja. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan masyarakat tentang sistem pendidikan nasional di mana segala-galanya masih dikelola oleh pemerintah pusat.

Komitmen Anggaran

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 secara jelas diatur bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Implementasi dari konstitusi tersebut dijabarkan lagi dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Pasal 49 ayat 1 dijelaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.

Jika menggunakan data Neraca Pendidikan Daerah (NPD) yang disusun oleh Kemdikbud, bisa dilihat bahwa selama bertahun-tahun pemerintah daerah mengabaikan amanat konstitusi ini. Banyak pemerintah kota/kabupaten hanya mengalokasikan anggaran pendidikan bahkan kurang dari 1% tanpa transfer daerah. Transfer daerah sendiri porsinya sudah mencapai Rp 306,9 triliun dari Rp 505,8 triliun atau sekitar 60% dari total anggaran pendidikan pada RAPBN 2020, dan sekitar 12% dari total belanja pemerintah pada RAPBN 2020. Semestinya pemerintah daerah wajib mengalokasikan 20% pendapatan asli daerahnya untuk pendidikan di luar gaji pendidik agar prosentase benar-benar 20%. Apa yang dilakukan oleh daerah selama ini, transfer daerah ditambah PAD baru diambil 20% sebagai anggaran pendidikan.

Komitmen SDM

Penempatan SDM pada dinas-dinas pendidikan daerah seringkali didominasi oleh personel yang minim ilmu, minim informasi, serta minim pengalaman dalam bidang pengelolaan pendidikan. Bahkan sering kali para pejabatnya tidak ada keinginan untuk belajar meski tidak menguasai bidang pendidikan sama sekali. Para kepala daerah sebetulnya bisa mengadakan diklat atau pelatihan bagi pejabat yang akan ditempatkan di dinas pendidikan jika berasal dari organisasi perangkat daerah (OPD) lain, menunjukkan kurangnya komitmen dalam menyiapkan orang-orang terbaik untuk mengelola pendidikan di daerahnya.

Di sini terlihat bahwa pendidikan bukanlah prioritas di daerah. Sungguh suatu ironi karena dalam konstitusi negara tercantum dalam pembukaan bahwa pemerintah yang dibentuk berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah di sini tentu saja bukan hanya pemerintah pusat, tetapi juga berlaku bagi pemerintah daerah. Suatu tindakan yang inkonstitusional jika pemerintah daerah tidak menempatkan pendidikan sebagai suatu prioritas.

Koordinasi dan Sinkronisasi

Kasus penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi yang dalam tiga tahun terakhir selalu menjadi polemik menunjukkan kurangnya komitmen dari pemerintah daerah untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi program pendidikan dengan pemerintah pusat. Tujuan utama dari PPDB berbasis zonasi adalah untuk membuka akses pendidikan. Tidak ada satu daerah pun yang memiliki APM (angka partisipasi murni) 100% di semua level; mayoritas pejabat daerah tidak memahami maksud dan tujuannya sehingga pelaksanaan selalu setengah hati.

Kondisi seperti ini sering menimbulkan ungkapan bahwa pemerintah pusat kurang berkoordinasi dan sosialisasi program. Kenyataannya, sering sekali Kemdikbud melakukan rapat koordinasi dengan pejabat-pejabat dinas pendidikan. Namun karena komitmen SDM yang rendah, seringkali pejabat yang diutus mewakili daerah tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, ruwetnya sistem informasi di daerah, juga faktor politis yang sering mempengaruhi tata kelola pemerintahan daerah, membuat segala koordinasi dan sosialisasi tidak sesuai dengan harapan.

Contoh lain yang saat ini sedang terjadi, Kemdikbud baru saja mengeluarkan Permendikbud No 35, 36, dan 37 tahun 2018 tentang mata pelajaran Informatika. Informatika adalah ilmu baru yang merupakan integrasi dari sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika atau lebih dikenal dengan istilah STEAM. Sampai saat ini saya belum melihat satu dinas pendidikan pun yang menyambut hadirnya mata pelajaran yang memang dihadirkan untuk membekali siswa menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. Seharusnya implementasi sudah mulai sejak Juli 2019 ini bersamaan dengan tahun ajaran baru.

Program Unggulan

Rendahnya komitmen dalam anggaran, penempatan SDM yang tepat, dan koordinasi/sinkronisasi kebijakan berimbas pada minimnya program-program pendidikan pada Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) di daerah. Banyak sekali program copy paste yang dilakukan dari tahun ke tahun tanpa ada inovasi yang berbasis kearifan lokal. Misalnya, pembangunan SMK/perguruan tinggi yang disesuaikan dengan bidang ekonomi yang akan dibangun di suatu daerah. Di daerah kepulauan kecil tentunya yang cocok dibangun adalah institusi pendidikan dengan fokus maritim, bukan pertanian. Daerah wisata akan butuh lembaga pendidikan pariwisata, bukan teknik otomotif. Dan seterusnya. Intinya program kerja dinas pendidikan harus disesuaikan dengan pembangunan sektor-sektor lain.

Melihat tantangan-tantangan di atas, blueprint/grand design pembangunan SDM Indonesia sangatlah dibutuhkan. Dengan adanya blueprint pendidikan, pemerintah daerah “dipaksa” untuk memiliki komitmen pada program unggulan periode kedua dari Presiden Joko Widodo ini. Blueprint akan membantu daerah dalam menyusun program kerja dalam mensukseskan pembangunan SDM Indonesia yang unggul.

Presiden juga harus menunjuk leading sector untuk menjalankan program pembangunan SDM ini yang punya kewenangan lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Jika tidak, Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan setiap tahun akan selalu mengeluh tentang dana pendidikan yang besar, tetapi tidak membuahkan hasil yang optimal. Bonus Demografi beralih menjadi Bencana Demografi. Indonesia Emas akan berubah menjadi Indonesia Cemas.

Sumber: https://news.detik.com

read more
Berita Terkini

Pendidikan Aceh Peringkat 27 Nasional

Guru honorer SDN 3 Kota Sigli, Asmaul Husna dan Husaini tertunduk dalam hening cipta saat upacara peringatan Hardikda Kabupaten Pidie Tahun 2019 di halaman tengah Kantor Bupati Pidie, Senin (2/9).

JARINGANPELAJARACEH.COM

Sigli-andalas Meski secara peringkat masih di urutan 27 dari 34 provinsi se-Indonesia, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Ir Nova Iriansyah MT mengklaim saat ini prestasi pendidikan di Provinsi Aceh semakin membaik jika dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.

“Prestasi pendidikan kita sekarang ini berada di urutan 27 dari 34 provinsi di Indonesia,” sebut Nova Iriansyah dalam sambutan tertulis yang dibacakan Wakil Bupati Pidie Fadhlullah TM Daud ST di acara peringatan Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) ke 60 di halaman tengah Kantor Bupati Pidie.

Keberhasilan Aceh memperbaiki posisi menjadi urutan 27, menurut Nova tidak terlepas dari kerja keras pemerintah daerah di masing masing kabupaten/kota di Provinsi Aceh, termasuk para kepala dinas terkait, kepala sekolah, dan pendidik.

Nova juga merincikan prestasi lainnya yang dicapai sehingga daerahnya berhasil menaikkan peringkat pendidikan Provinsi Aceh di tingkat nasional, diantaranya memeroleh nilai tertinggi hasil Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) SMA, SMK, dan MA.

Dari hasil UNBK terakhir, sebanyak 31 orang siswa meraih nilai 100, atau jauh lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 3 orang siswa meraih prestasi terbaik. Provinsi Aceh juga berhasil merebut enam gelar juara di tingkat nasional pada event Apresiasi GTK PAUD  dan Dikmas. Di event ini Aceh meraih ranking 5 besar secara nasional.

Selain itu sejumlah siswa SMA Aceh juga mempersembahkan enam medali di ajang Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan empat medali dipersembahkan oleh siswa SMK di ajang Lomba Kompetensi Siswa (LKS) yang dilaksanakan di Yogyakarta.

Kirim Siswa ke Amerika

Pada tahun 2018, Dinas Pendidikan Aceh juga telah mengirim sebanyak 10 siswa SMK Penerbangan Aceh ke Washington, Amerika Serikat untuk menjalani magang di pabrik pesawat terbang Boeing.

“Ini merupakan modal awal untuk mengembangkan lebih jauh sektor kedirgantaraan Aceh,” papar Nova. Kemudian, Pemerintah Aceh juga mengirim sejumlah guru dan siswa SMK ke PT Innovam yang berkantor pusat di Belanda untuk mengikuti pelatihan Otomotif Multibrand bertaraf internasional.

Di akhir sambutannya, Nova mengingatkan kepada seluruh jajaran pendidikan di Aceh untuk terus melakukan pembenahan dan penguatan yang lebih komprehensif dalam membangun sistem pendidikan di daerah melalui berbagai program.

Kepada dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, pengawas sekolah, Plt Gubernur Aceh meminta agar terus menekuni tugas dan tanggung jawab masing-masing sehingga apa yang telah diraih dapat dipertahankan dan bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan mutu pendidikan Aceh di tingkat nasional.

Amatan andalas, peringatan Hardikda di Kabupaten Pidie tahun ini terlihat kurang meriah dibandingkan dua tahun silam, di mana ketika itu ribuan pelajar SMP, SMA, hingga  mahasiswa ikut memeriahkan peringatan Hari Pendidikan. Guru, siswa, hingga pengawas sekolah berprestasi juga diberi penghargaan. Ironisya, peringatan Hardikda Aceh kali ini, di samping sepi juga kurang menjadi perhatian kalangan media. Pihak Dinas Pendidikan Pidie disebut-sebut tidak suka dipublikasi di media.

Sumber: http://harianandalas.com

read more
Artikel

Rektor: Unsyiah Mulai Diperhitungkan

JARINGANPELAJARACEH.COM

BANDA ACEH – Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Samsul Rijal, mengatakan dalam usianya yang ke-58, kiprah Unsyiah mulai diperhitungkan di level nasional bahkan internasional.

Menurutnya, lompatan prestasi kampus dimulai empat tahun lalu, ketika Unsyiah mendapatkan akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional. Usai itu, Unsyiah juga meningkatkan statusnya menjadi Perguruan Tinggi Negara Badan Layanan Umum (PTN-BLU).

“Pencapaian lain adalah masuk dalam delapan universitas terbaik di Indonesia berdasarkan perangkingan Webometrics dan tujuh besar menurut Scimago Institutions Rangkings,” kata Samsul Rizal pada peringatan ulang tahun yang ke-58 Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) di AAC Dayan Dawood Darusaalam, Banda Aceh, Senin (2/9/2019).

Namun menurut Science and Technology Index (Sinta) Kemenristekdikti, Unsyiah berada di peringkat 14 secara nasional atau secara umum berada di rangking ke 23 di antara perguruan tinggi lainnya secara nasional.

Salah satu upaya mengembangkan kapasitas program studi, kata Samsul, adalah penguatan kapasitas program studi. Saat ini terdapat 135 program studi di bawah 12 fakultas dan program pascasarjana. Sebanyak 37 di antaranya telah berakreditasi A. Saat ini tercatat ada 29.268 ribu mahasiswa yang tercatat belajar di Unsyiah. Di antara mereka 68 orang adalah mahasiswa yang berasal dari mancanegara.

Samsul Rizal melaporkan, setiap tahunnya Unsyiah meluluskan enam ribu lulusan. “Jumlah alumni Unsyiah telah mencapai 126.649 ribu orang,” kata dia.

Sepanjang tahun 2019, Unsyiah mencatat 66 torehan prestasi, di antaranya adalah 10 prestasi tingkat internasional dan 26 prestasi tingkat nasional.

Selain itu, lanjut Samsul, Unsyiah punya kapasitas pengajar sebanyak 1.595 orang dari berbagai bidang keilmuan serta 684 tenaga kependidikan. Dari angka itu, 64 orang di antara tenaga pengajar telah mencapai jabatan Profesor.

Samsul Rizal berharap di usia 58 tahun Unsyiah, kampus Jantong Hate Rakyat Aceh itu terus berkembang, terus menjadi kebanggaan dan benar-benar menjadi universitas yang inovatif, mandiri dan terkemuka.

 

Sumber : https://klikkabar.com

Naifa Stiasari

read more