SHAFA SHARVINA, siswi Pesantren Darul Ulum Banda Aceh, sedang mengikuti Pertukaran Pelajar Bina Antarbudaya di Amerika Serikat, melaporkan dari Ohio
BARU-BARU ini saya datangi Dellroy Elementary School, sebuah sekolah dasar (SD) yang terletak tak jauh dari rumah host family (keluarga angkat), tempat saya bernaung selama beberapa bulan ini di Ohio, Amerika Serikat (AS).
Kedatangan saya dan seorang teman dari Thailand yang juga siswa pertukaran pelajar ke SD itu bukan tanpa alasan. Kami diundang oleh salah guru yang kebetulan merupakan guru kelas adik angkat saya. Ini pun berawal ketika adik angkat saya itu menceritakan tentang ia yang sekarang memiliki dua orang kakak dari negara lain. Caranya bercerita yang sangat antusias membuat gurunya tertarik dan akhirnya mengundang kami untuk mendatangi kelas dan mempresentasikan sesuatu tentang negara kami masing-masing.
Kebetulan sekali, kami diundang tepat pada salah satu hari di International Education Week. Di minggu itu hampir seluruh siswa pertukaran yang sedang berada di seluruh penjuru dunia memang harus menyampaikan sekurang-kurangnya satu presentasi di sekolah-sekolah, baik itu sekolah dasar atau menengah.
Kesempatan ini saya gunakan sebaik mungkin. Mempresentasikan Indonesia dan Aceh kepada murid kelas 3 SD yang masih sangat belia, masih punya banyak kesempatan untuk menggapai cita-cita. Siapa tahu di antara mereka ada yang nantinya menjadi siswa pertukaran ke Indonesia atau mungkin Aceh? Terlebih mengingat saya mungkin adalah orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang pernah mereka temui. Setidaknya saya sudah ikut serta membuka mata mereka pada dunia luar yang tak pernah mereka jamah, jauh dari jangkauan yang mungkin saja orang tua mereka juga tak tahu di mana letaknya Indonesia (seperti sebagian orang Amerika lainnya). Dengan begitu mereka bisa menceritakan apa yang saya sampaikan kepada orang-orang lain, sehingga Indonesia dikenal dunia. Oleh karena itu, saya coba persiapkan semuanya matang-matang. Mulai dari bahan presentasi, bendera Indonesia, baju adat Aceh, uang seribuan, gantungan kunci bertuliskan ACEH, dan tentu saja mental. Saya harus benar-benar siap menghadapi berbagai pertanyaan dari anak-anak itu.
Sebelum saya presentasi, teman saya yang berasal dari Thailand inilah yang presentasi lebih dulu. Anak-anak itu terlihat sangat antusias, apalagi ketika teman saya ini menuliskan namanya dalam bahasa Thailand. Ketika tiba giliran saya, saya pun berusaha membuat anak-anak itu tetap antusias. Pertanyaan yang pertama kali muncul adalah, “Apakah kamu harus selalu memakai itu?” sambil mereka menunjuk jilbab saya. Sambil tersenyum dan sangat hati-hati, saya jelaskan bahwa ini adalah kewajiban agama saya. Mereka pun akhirnya mengangguk-angguk tanda mengerti.
Yang paling membuat mereka antusias adalah ketika saya keluarkan pakaian adat Aceh yang saya bawa jauh-jauh dari tanah kelahiran, merelakan koper saya tersita tempatnya untuk sepasang pakaian yang agak tebal lengkap dengan aksesorinya. Dengan warna yang agak mencolok dan disukai anak-anak, banyak sekali yang mengacungkan tangan ketika saya tanyakan siapa yang mau mencobanya. Mereka rela berbaris untuk sekadar mencoba pakaian itu, sambil tak henti-henti mengatakan bahwa pakaian itu sangat bagus.
Tak hanya itu, di akhir presentasi saya berikan mereka kenang-kenangan. Mereka semua duduk rapi dengan raut wajah tak sabar. Sebelum membagikannya, saya ucapkan banyak terima kasih karena mereka telah mendengarkan presentasi saya dengan sangat antusias. Lalu saya kelilingi kelas sambil membagikan uang Rp 1.000 dan gantungan kunci bertuliskan ACEH kepada setiap anak. Melihat nominal 1.000, mata mereka berbinar, seolah yang ada di tangan mereka adalah $1.000. Akhirnya banyak yang datang kepada saya sambil bertanya, “Apakah ayahmu seorang yang kaya raya? Tentu iya. Kalau tidak, mana mungkin kamu bisa membagikan uang sebanyak ini kepada kami?”
Sambil menahan tawa saya jelaskan bahwa uang sebanyak itu tidak cukup berarti bagi mereka, kecuali beberapa buah permen. Banyak juga yang mendatangi saya dan bertanya bagaimana cara melafalkan kata ACEH yang ada di gantungan kunci yang saya bagikan.
Sebagai kenang-kenangan lain, saya tuliskan nama mereka di kartu kecil dalam tulisan Arab Melayu. Ini karena baik bahasa Indonesia maupun bahasa Aceh tak punya huruf khusus yang berbeda dari bahasa Inggris. Sebagai bagian dari anak pesantren yang tahu sedikit bahasa Arab, akhirnya tulisan Arab yang jadi andalan saya. Yang pasti, hari itu akan menjadi hari yang tak terlupakan baik bagi saya maupun mereka. [email penulis: shafvina@yahoo.com]