Jaringanpelajaraceh.com – Menteri dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana mengatakan, kemajuan teknologi di Indonesia masih rendah. Ada lima indikator rendahnya teknologi Indonesia, seperti kurangnya kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di sektor industri, sinergi kebijakan masih lemah, serta sedikitnya ilmuwan.
“Rasio ilmuwan atau peneliti Indonesia hanya 205 orang per satu juta penduduk. Di Korea Selatan mencapai 4.627 ilmuwan, Jepang 5.573 orang, Singapura 6.088 orang,” kata Armida saat orasi ilmiah di kampus Universitas Padjadjaran, Bandung, Kamis, 11 September 2014.
Menurut Armida, indeks pencapaian teknologi Indonesia di urutan ke-60 dari 72 negara berdasarkan data United Nation for Development Program (UNDP) pada 2013. Ukurannya berupa penciptaan teknologi yang dilihat dari perolehan hak paten dan royalti atas karya dan penemuan teknologi, difusi inovasi teknologi mutakhir yang diukur dari jumlah pengguna Internet dan besaran sumbangan ekspor teknologi terhadap total barang ekspor.
Ukuran lainnya, difusi inovasi teknologi lama yang dilihat dari jumlah pengguna telepon dan pemakai listrik, serta tingkat pendidikan penduduk berdasarkan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas dan angka partisipasi kasar penduduk yang menempuh pendidikan tinggi di bidang iptek. “Pada bagian ini berkorelasi dengan pengetahuan, keterampilan, dan penguasaan iptek,” ujar Armida.
Rendahnya kontribusi iptek di sektor produksi, terlihat dari kurangnya efisiensi dan rendahnya produktivitas, serta minimnya kandungan teknologi dalam barang ekapor. Menurut Armida, ekspor produk manufaktur didominasi oleh produk dengan kandungan teknologi rendah sebanyak 60 persen. “Produksi barang elektronik yang ekspornya terus meningkat, umumnya kegiatan perakitan yang komponen impornya mencapai 90 persen,” kata dia.
Rendahnya kemajuan teknologi Indonesia, kata Armida, juga terlihat dari minimnya anggaran pemerintah untuk riset, yakni 0,08 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) per tahun. Membandingkan dengan negara lain di Asia, dana riset di Cina sampai 2 persen, Jepang (3,40 persen), dan Korea Selatan (4,04 persen).
“Padahal menurut UNESCO, rasio anggaran riset minimal 2 persen dari PDB,” katanya. Akibatnya, infrastruktur dan fasilitas riset, biaya operasional, dan insentif bagi peneliti sangat terbatas.
Rektor Universitas Padjadjaran Ganjar Kurnia mengatakan, kampusnya telah menetapkan lima pilar riset, seperti kesehatan, pangan, energi, lingkungan, dan kebijakan serta sosial budaya. Penelitian difokuskan dengan hasil jelas bagi pengembangan ilmu dan untuk terapan di masyarakat. “Kerjasama riset dengan perusahaan misalnya dengan PT Pupuk Kujang untuk meningkatkan skala produksi pupuk cair,” kata Ganjar.
Sumber: Tempo.co | Anwar Siswadi