X

Cara Jepang Menjaga Warisan Sejarah

OLEH IRSYADILLAH, Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, melaporkan dari Tokyo

SELAMA dua minggu di Jepang saya sempat mengunjungi beberapa kota besar dan bersejarah seperti Kyoto, Osaka, Kobe, dan Nara. Sama seperti orang lain yang telah mengunjungi atau tinggal di Negeri Matahari Terbit ini, saya juga kagum pada negara ini. Saya saksikan banyak hal positif yang dimiliki negara dengan gross domestic product (GDP) tertinggi ketiga setelah Amerika Serikat dan Cina ini.

Sama seperti negara maju lainnya, Jepang juga sangat bagus dalam menjaga warisan sejarah. Mereka menginvestasikan berjuta-juta yen untuk merestorasi bangunan-bangunan bersejarah agar tetap berwujud aslinya. Termasuk bangunan-bangunan yang hancur selama Perang Dunia II. Tentu saja tidak sedikit biaya yang dibutuhkan untuk menjaga bangunan-bangunan kuno seperti kastil dan kuil (temple) yang sudah berumur ribuan tahun. Misalnya, Todai-ji Temple yang terletak di kota tua Nara, dibangun tahun 728 Masehi.

Jepang juga sangat tepat dijadikan referensi dalam hal menjaga memori bersejarah. Seperti yang dilakukan oleh Museum Gempa Kobe (Kobe Earthquake Memorial Museum), sehingga masyarakat Jepang dan dunia bisa merasakan bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh dahsyatnya gempa yang melanda Kota Kobe. Kebijakan seperti ini tentu saja didasarkan pada pentingnya menjaga warisan sejarah dan budaya. Tapi kebijakan ini juga membawa berkah ekonomi yang tidak sedikit, karena jutaan turis mancanegara datang ke Jepang setiap tahun untuk mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah ini.

Saya juga kagum pada karakter dan kepribadian masyarakat Jepang yang telah menjadikan negara ini memimpin (leading) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Mereka sangat disiplin dengan waktu. Kedisiplinan memang merupakan karakter yang paling terkenal dari bangsa Jepang. Kita akan ditingalkan oleh bus, taksi, apalagi kereta api kalau telat beberapa detik saja.

Contoh lain, membuang sampah sudah ada jadwalnya untuk masing-masing jenis sampah. Setiap jenis sampah harus dimasukkan ke dalam kantong dengan warna yang telah ditentukan, kalau tidak maka mobil pengangkut sampah tak akan mengambilnya. Kedengarannya sederhana, tapi tentu saja tak mudah dilakukan oleh semua orang karena berhubungan dengan perkerjaan yang terus berulang.

Saya juga menyaksikan mereka sangat disiplin dalam berlalu lintas. Tak akan kita temukan pengendara yang menerobos lampu merah atau mengendarai kendaraan di jalur yang salah. Pengendara tetap mengendari sepedanya di jalur yang disediakan. Demikian juga dengan masalah parkir, sulit kita temukan kendaraan yang parkir secara liar.

Perihal berlalu lintas ini memang telah diajarkan sejak TK karena pendidikan dasar di Jepang lebih ditekankan pada perkembangan sikap dan mental daripada kemampuan inteligensia. Jadi, kita tak perlu heran bus yang dipenuhi oleh anak-anak muda tetap saja sunyi. Mereka tidak ribut, karena sudah paham orang lain di bus akan terganggu dengan sikap dan tingkah laku mereka. Apalagi yang merokok, sudah pasti tak ada yang nekat melakukannya di bus.

Dari semua itu, yang paling saya kagumi dari Jepang adalah ternyata mereka tidak kapitalis. Memang benar ada begitu banyak perusahaan Jepang yang menguasai bisnis tertentu di sebuah negara bahkan di dunia. Di Indonesia saja, begitu banyak perusahaan Jepang yang ikut andil dalam bisnis seperti migas, otomotif, dan elektronik. Bahkan perusahaan Jepang juga terlibat dalam bisnis retail dan restoran seperti Lawson, 7 Eleven, dan Hanamasa. Perusahaan-perusahaan Jepang ini sangat mudah ditemukan di kota-kota besar bahkan kecil di Indonesia. Di negara kita sangat mudah dijumpai perusahaan-perusahaan multinasional, hampir merata dibuka cabangnya di seluruh Indonesia. Kita tentu saja tak asing lagi dengan KFC, Pizza Hut, dan McDonald.

Tapi ternyata ketika saya susuri jalan-jalan utama di kota besar Jepang seperti Osaka dan Kyoto, sangat sulit ditemukan merek-merek internasional seperti KFC, McDonald, Pizza Hut, Carrefour, apalagi merek-merek asal Indonesia. Sepanjang jalan yang saya temukan adalah restoran dan retail asli Jepang yang menjual produk asli Jepang. Di sini juga sangat sulit kita temukan merek-merek seperti BMW, Mercedes, dan Ford. Mereka hampir semuanya mengunakan mobil yang di produksi negerinya sendiri. Tentu saja hal ini berbeda dengan negara kita. Semua bangga menggunakan produk impor.

Memang banyak sekali hal menarik yang bisa dieksplor dan dipelajari dari Jepang. Negara ini memang layak dijadikan contoh dan dikagumi walaupun tentu saja tidak dengan membabi buta, karena ada juga banyak hal yang tidak sesuai dengan karater budaya kita. Tentu saja tak usah dicontoh kebijakan mereka yang satu ini, jalanan mereka bebas dari sepeda motor, tetapi mereka gencar sekali menjual produk ini di negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
[email penulis:  irsyadillah@yahoo.co.uk]

Muhammad Iqbal: I'am Not Spiderman
Related Post