close

“Untuk mengenal dunia, maka membacalah, untuk dikenal dunia, maka menulislah”. Ini bukanlah sebuah kalimat hiburan, tetapi kalimat yang punya spirit mendalam bagi kejayaan peradaban manusia. Ketika dengan mata kita punya segala keterbatasan untuk “melihat dunia”, maka kita melampaui segala keterbatasan ketika dengan mata kita “membaca dunia”.

Benar kata Said Qutub, “Ketika satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, maka satu tulisan dapat menembus jutaan kepala”. Inilah kemenangan “kuasa pengetahuan” atas segala kuasa “fasisme” dalam segala bentuk wajahnya di kekinian. Umat yang tidak menjadikan spiritualitas membaca dan menulis dan kemudian menjadikan pengetahuan sebagai pemandu jalan peradabannya, namun menyerahkan pemandu jalan peradabannya semata pada “politik kekuasaan”, maka tidak ada yang terang dalam hidup, semua hanya kegelapan dalam gua-gua gelap sepanjang masa.

Menulis bukanlah warisan sebuah kekuasaan atau pelimpahan dari nama besar hanya untuk diterima dan dinikmati, karena itu Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali yang usianya terus panjang sampai saat ini berpesan, “Jika engkau bukan anak seorang raja, dan bukan anak seorang ulama besar, maka menulislah”.

Membaca dan menulis adalah sebuah jihad besar manusia, karena kedunya merupakan “perlawanan” terhadap segala kebenaran yang dikondisikan, kepada kebenaran berdasarkan pencarian dan refleksi mendalam.

Membaca dan menulis merupakan ikhtiar dan mujahahadah besar melawan segala ego dalam diri maupun realitas di luar diri manusia untuk tidak menerima begitu saja sebuah kebenaran tanpa mencari dan mendapatkannya dengan membaca, menganalisa dan menulis.

“Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah. Jika engkau ingin murid kebenaran, maka carilah”, demikian nubuat Karl Friedrich Nietzche, sang filosof yang keseluruhan hidupnya diabadikan untuk mengasingkan diri dalam tulisan-tulisan.

Menulis memang pekerjaan keabadian. Menulis mewariskan kemewahan, kemewahan pengetahuan. Menulis juga mewariskan kekuasaan, kekuasaan pengetahuan yang memandu manusia untuk selalu mengingat dan terus merawat dunia dengan kuasa pengetahuan.

“Semua penulis akan fana, hanya karyanyalah yang akan abadi sepanjang masa, maka tulislah yang akan membahagiakanmu di akhirat nanti”, adalah nasihat abadi sang Khalifah Ali bin abi Thallib. Atas dasar inilah, Sayyidina Ali kemudian berkata, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya”.

Dalam segala hikmah abadi ini, sang Khalifah ingin berpesan bahwa menulis adalah melawan segala keliaran dan ketidakberadaban yang merusak. Jinakkanlah segala keliaran dan segala ketidakberadaban itu dengan menulis. Menulis dan membaca adalah angin dan api, yang saling memperbesar dan membakar. Membaca adalah lautan tanpa batas dan menulis adalah kapal yang berlayar menuju samudera luas tempat segala peradaban bertemu.

Bayangkan jika dunia tanpa sang penulis dan dunia tanpa tulisan! Karena itu wahai generasi muda Aceh, selalu hidupkan dunia dan hiasi dunia dengan tulisan. “Nulla dies sine linea, tiada hari tanpa baris-baris tulisan”, tulis Pline, Pengarang Yunani, berabad-abad lalu.

Pilihlah jalan yang kadang kala sepi dan tanpa teman ini, karena inilah yang dicari manusia dalam apapun kebudayaannya. Bagi sang pemilih dan penempuh jalan ini, maka hari-hari tanpa lembar tulisan adalah hari tanpa kehidupan. Menulis adalah kekuasaan sesungguhnya dari segala kekuasaan yang ada didunia ini.

Lihatlah Napoleon Bonaparte, sang pemberontak yang menumbangkan kekuasaan raja tiran Perancis, ketika menjadi penguasa, diapun begitu takutnya dengan tulisan, “Aku lebih takut dengan seseorang yang memegang pena (penulis) dari pada seribu prajurit yang bersenjatakan lengkap”, karena begitu berkuasanya sebuah tulisan.

Menulis adalah nuklir paling berbahaya dari segala senjata pemusnah paling mematikan. Isaiah Berlin, filosof, ahli sejarah pemikiran Latvia yang kemudian bermukim di Inggris telah meninggalkan pesan ini dalam “Four Essay on Liberty”nya. “Jangan main-main dengan tulisan yang ditulis oleh para pemikir”.

Tulisan yang ditulis dalam kesendirian, dalam segala pelik beban hidup, dalam ketidakpeduliannya pada diri sendiri, akan dapat mendirikan dan meruntuhkan sebuah negara, dapat membangun sebuah peradaban dan dapat menghancurkan sebuah peradaban, dapat menghentikan sebuah perlawanan dan dapat menggerakkan sebuah perlawanan. Isaiah tentu telah membaca dan merefleksikan secara mendalam betapa berbahayanya perlawanan di seluruh dunia yang digerakkan oleh tulisan seorang Karl Marx, karena itu Isaiah kemudian juga menulis, “Karl Marx : His Life and Environtment (1983)”.

Sebuah tulisan adalah inspirasi bagi dunia, ilham bagi seluruh peradaban. Ketika menyaksikan gurunya, Aristoteles, dihukum meminum racun cemara karena mempertahankan sebuah kebenaran pengetahuan, Plato (sang murid), menulis “Dialogue”, untuk mendokumentasikan semua ketidakadilan kekuasaan terhadap gurunya. “Dialogue” yang ditulis Plato ini, kemudian hari menginspirasi dunia dan cikal bakal bagi penulisan novel, cerpen, naskah drama, naskah teater. Begitulah inspirasi dan ilham sebuah karya tulisan bagi manusia.

Ketika di Aceh, kita hidup dalam era “otoritarianisme moral”, ”pemenjaraan tubuh dan pikiran”, ”penertiban tubuh dan pikiran”, serta “penundukan tubuh dan pikiran”, maka menulis dan membaca secara kritis dan tanpa batas adalah perlawanan terhadap itu semua.

Di saat badan dan tubuh sebagai Aceh coba dikurung dan dipenjara, maka “lucutilah” pikiran tidak sebagai Aceh, tetapi sebagai ”donya” (dunia) dengan membaca dan menulis tanpa batas. Jangan pernah izinkan pikiran dipenjara, karena membiarkan pikiran dipenjara adalah penghinaan terhadap kemuliaan sejati manusia. Sekalipun tubuh di penjara, maka pikiran takkan pernah bisa dipenjara.

Antonio Gramsci, adalah pemikir yang secara empirik telah membuktikan bahwa pikiran takkan pernah bisa dipenjara. Bahkan Gramsci bisa menulis ”Prison Notebooks” dari semua dialektika pemenjaraan tubuh yang di hadapinya. Akan teramat panjang jika kita mengurai segala kuasa tulisan dalam sekian panjang sejarah manusia.

Hakikatnya menulis adalah kemewahan dari segala kemewahan yang ada dalam sejarah manusia. Menulis adalah pekerjaan keabadian. Menulis adalah masa depan. Menulis adalah kemewahan paling abadi.

Kita tidak tahu berapa lama kita akan hidup. Karena itu, gunakanlah setiap ruang dan waktu yang masih tersedia untuk terus menulis dan membaca. Ini adalah “lubang besar” yang akan menyedot dan menarik apapun di dunia.

Tanpa menulis, bagaimana kita mewariskan keabadian? Tanpa menulis, bagaimana kita meninggalkan pertanggungjawaban pengetahuan kita? Karena itu, wahai generasi muda Aceh, menulislah!

Sumber: (http://www.acehkita.com/generasi-muda-aceh-menulislah/)

Fauziah Fauziah

The author Fauziah Fauziah