close

HARI ini, 25 November 2013, kita kembali memperingati Hari Guru Nasional (HGN). Tema yang diangkat pada peringatan HGN 2013 ini adalah “Mewujudkan Guru yang Kreatif dan Inspiratif dengan Menegakkan Kode Etik untuk Penguatan Kurikulum 2013”. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para guru khususnya dan dunia pendidikan kita pada umumnya. Sebab, tantangan ini hadir di tengah kekhawatiran akan realitas pendidikan kita saat ini, yang dinilai belum mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) berdaya-saing tinggi, di tengah persaingan global dan era pasar bebas.

Hal tersebut dapat dibuktikan melalui berbagai indikator mutu pendidikan, di antaranya angka ketidaklulusan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2013 tingkat SMA di Aceh yang mencapai 1.752 siswa (3,11%). Angka ini merupakan angka tertinggi di Indonesia, yang disusul Papua di peringkat dua, dan Sulawesi Tengah di peringkat tiga (Kompas.com, 24/5/2013). Ini, tentunya, dapat dijadikan satu indikator melemahnya mutu pembelajaran.

Adapun faktor penyebabnya bisa datang dari perilaku siswa, pengaruh lingkungan, dan atau kemampuan profesional guru. Rasanya menjadi hal yang wajar jika munculnya sikap skeptis masyarakat terhadap kinerja guru dewasa ini dianggap belum siap mencetak generasi mendatang dengan kapasitas sesuai tuntutan kebutuhan masyarakat. Sementara momentum ke depan, guru memiliki kewajiban mampu mewujudkan program pembangunan pendidikan nasional jangka panjang, yaitu salah satunya adalah generasi yang memiliki kapasitas daya saing internasional.

 Tidak disukai Belanda
Berbicara tentang HGN tentu tidak terlepas dari sejarah lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), di mana hari lahirnya 25 November kemudian dijadikan sebagai HGN. Awal terbentuk pada 1912, lembaga guru Indonesia ini bernama Persatuan Guru Hindia Belanda. Namun pada 1932, lembaga ini berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia. Penggunaan kata ‘Indonesia’ di belakang kata ‘Guru’ membuat pihak pemerintahan Belanda gerah, karena dianggap sebagai semangat kebangsaan masyarakat Indonesia, dan tentu sangat tidak disukai pihak Belanda. Lembaga ini sempat berhenti pada masa penjajahan Jepang, yang juga tidak menyukai pendidikan dan segala bentuknya ada di Indonesia.

Berkumandangnya kemerdekaan dan semangat proklamasi yang masih membara, melatarbelakangi terbentuknya Kongres Guru Indonesia yang dilaksanakan pada 24-25 November 1945. Kongres ini bertujuan menghapuskan segala bentuk perbedaan dalam tubuh guru di Indonesia. Hal yang mempersatukan para guru tersebut adalah semangat untuk bersatu dan memajukan pendidikan Indonesia, hingga kemudian secara resmi terbentuk sebuah wadah yang menaungi para guru dari seluruh Indonesia yang kemudian disepakati sebagai HGN.

Menurut Fadli (2010) satu variabel yang mempengaruhi sistem pendidikan nasional adalah kurikulum. Kurikulum harus dapat mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat. Kurikulum harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat luas dalam menghadapi persoalan kehidupan kekinian yang dihadapi. Sudah sepatutnya bila kurikulum itu terus diperbarui seiring dengan realitas, perubahan, dan tantangan masa depan dalam membekali siswa menjadi manusia yang adaptif dan dinamis.

Sekadar diketahui, Kurikulum 2013 bukanlah kurikulum baru di dunia, yang notabene sudah diterapkan di beberapa negara maju seperti Finlandia, Jerman dan Perancis (Mahmud, 2013). Satu hal pokok dalam penerapan Kurikulum 2013 adalah bagaimana guru mampu menerapkan model dengan pendekatan saintifik (scientific approach) dan pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student center) serta menekankan pada pembelajaran siswa aktif dengan diterapkannya model pembelajaran penemuan (discovery learning), pembelajaran berbasis proyek (project base learning) serta pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem base learning).

Namun dalam perjalanannya, penerapan Kurikulum 2013 disambut skeptis dan apatis di kalangan praktisi pendidikan. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah kekhawatiran akan nasib Kurikulum 2013 ini sama dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sampai sekarang belum sepenuhnya terlaksana sejak diluncurkan pada 2006 lalu. Ada pula yang menyasar pada konten Kurikulum 2013 yang belum jelas sampai saat ini. Begitu pula, ketidakpercayaan pada pemerintah dalam berbagai hal terutama rencana pelatihan guru secara besar-besaran. Bahkan, ada yang melirik kejanggalan program ini hanya sebatas program proyek yang ujungnya adalah anggaran negara yang sangat besar, dan kemungkinan dikorup juga besar.

Terlepas dari hal itu, menurut hemat penulis sebagai seorang guru, alangkah bijaknya bila kita menyikapinya dengan cara menyiapkan mental terhadap perubahan yang terjadi saat ini. Baik tidaknya sebuah kurikulum sebenarnya terletak di tangan guru. Efektivitas sebuah kurikulum tergantung kepada profesionalisme guru. Di tangan guru yang profesional, kurikulum yang tidak baik bisa menjadi baik. Dengan mentalitas, kreativitas, serta daya inovasinya, kurikulum yang kurang baik bisa menjadi efektif.Sebaliknya, sebaik apapun kurikulum tetapi guru tidak profesional, kurikulum tidak akan berarti apa-apa. Di tangan guru yang tidak profesional, kurikulum yang sebaik apa pun tidak akan terlaksana dengan efektif.

Guru Kreatif dan Inovatif
Dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Di era yang hampir semuanya bergerak dengan cepat, dibutuhkan sosok guru yang secara terus menerus belajar dan terus belajar, antisipatif, proaktif, memiliki pengetahuan dan keahlian yang kaya inovasi untuk meningkatkan kompetensi SDM berkualitas. Finlandia dan Singapura adalah dua negara yang miskin sumber daya alam (SDA), tetapi keduanya diperhitungkan di pentas dunia karena SDM-nya kreatif dan kaya inovasi.

Guru-guru kita pun sebenarnya mampu melakukan hal demikian, apalagi yang sudah disertifikasi.Namun anehnya, seiring banyaknya jumlah guru yang telah disertifikasi, kondisi pendidikan kita justru malah miskin kreasi. Guru yang tidak kreatif dan enggan melakukan lompatan-lompatan inovasi cenderung memahami profesi guru secara konvensional, yaitu hanya sekadar mentransfer pengetahuan kepada siswa.

Akibatnya, tujuan pembelajaran untuk mendewasakan siswa secara holistik justru malah kurang diperhatikan dan diabaikan. Ciri lainnya dari guru yang tidak kreatif adalah gelisah terlalu lama berada di sekolah dan bersikap apatis jika diajak berdiskusi tentang materi pelajaran; enggan menggali dan menambah wawasan; malu bertanya kepada teman guru sejawat yang memiliki kompetensi lebih.

Semangat kompetitif
Sebenarnya tidak ada yang sulit jika semangat kompetitif diberi nafas kreativitas dan inovasi. Negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura telah membuktikannya. Mereka telah menyadari bahwa memang tidak mudah bagi negara berkembang mengejar ketertinggalan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang sudah dikuasai lebih dulu oleh negara maju. Tetapi jika guru mampu menjadikan sekolah sebagai pusat riset (penelitian), maka semua yang telah dicapai terlebih dulu oleh negara maju dapat diketahui dan dilampaui.

Kembali kepada tema HGN 2013 dan HUT ke-68 PGRI, yang menjadi tolok ukur keberhasilan seorang guru dalam menghadapi tantangan di abad 21 ini tidak cukup hanya bermodalkan hardskill (kemampuan, keahlian, pelatihan dan pengalaman), tetapi juga harus bermodalkan softskill, yaitu kemampuan mengelola diri sendiri dan membangun hubungan harmonis dengan siswa dan seluruh stakeholder pendidikan. Guru yang memiliki modal atau kompetensi seperti ini adalah guru yang kreatif, dan inovatif dalam menciptakan paradigma baru pendidikan yang cerdas dan berkualitas.

Harapan kita bersama, peringatan HGN dan PGRI pada setiap 25 November tidak hanya dilaksanakan sekadar seremonial belaka. Akan tetapi dijadikan sebagai refleksi atas perjalanan kiprah dan perjuangan guru dalam upaya mencetak generasi bangsa yang unggul, mandiri, dan tangguh. Selamat Hari Guru dan dirgahayu PGRI!