X

Jangan Sampai Bahasa Indonesia “Wafat”

KEHADIRAN Bahasa Indonesia yang telah rapi, akhir-akhir ini seakan redup dengan banyaknya pencampuran bahasa, baik dari bahasa ibu, bahasa asing, sampai dengan bahasa gaul. Lambat laun, kebiasaan mencampur bahasa ini semakin menjamur di kalangan remaja. Entah apa yang melatarbelakangi penyerapan bahasa tersebut sehingga penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar semakin menipis.

Kita tentu sulit mencari siapa yang salah dalam kondisi ini. Sebab, bahasa itu sendiri hidup dan berkembang sesuai dengan era ataupun zaman. Namun, jika pemakaian bahasa serapan tidak dapat dikontrol sejak dini, maka bukan tidak mungkin Bahasa Indonesia akan segera “wafat“.

Warga Negara Indonesia pada dasarnya memiliki begitu banyak keragaman. Baik ragam suku, ragam budaya, ragam agama, dan sebagainya. Sehingga mayoritas bahasa yang digunakan juga turut berbeda. Bahasa yang paling banyak ditemui penggunaannya dalam sosial keseharian ialah bahasa ibu, yakni bahasa daerah tergantung dari mana seseorang berasal. Oleh karena itu, Bahasa Indonesia memegang arti penting sebagai bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia.

Dalam perkembangan bahasa, bahasa gaul juga akhir-akhir ini menjamur di berbagai kalangan masyarakat. Kita sudah tidak asing lagi mendengar kata-kata seperti ciyus, cungguh, kiyim, cemungudh dan lainnya. Kata-kata tersebut apabila dilirik, maka tidaklah terlalu jauh dari kata yang sebenarnya. Ciyus berarti “serius”, cungguh maknanya “sungguh”, kiyim artinya “kirim”, dancemungudh maksudnya “semangat”. Akan tetapi, jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tidak ditemukan istilah-istilah semacam itu. Padahal, KBBI sendiri merupakan dasar berbahasa yang baik dan benar.

Penggunaan bahasa-bahasa gaul itulah yang bisa dikatakan keliru. Sebab, dalam Bahasa Indonesia terdapat berbagai cabang ilmu yang mempelajari seluk beluk bentuk kata, tata bahasa, tata kalimat, dan aturan lain yang seharusnya digunakan sebagai panduan dalam berbahasa. Terkadang, keliru pada satu huruf konsonan saja akan menimbulkan makna yang berlainan.

Seperti contoh, kata “alam“ yang menurut KBBI bermakna segala yang ada di langit dan di bumi. Namun, ketika huruf konsonan “L“ digantikan dengan huruf konsonan “W“ sehingga menjadi kata “awam“, tentu sudah berbeda makna. Awam bermakna orang biasa (bukan ahli, bukan rohaniwan, bukan tentara).

Kini, jelas sudah bahwa penggunaan bahasa gaul dalam kehidupan tidak memenuhi kaidah berbahasa yang baik dan benar. Karakteristik dan citra Bahasa Indonesia sebagai bahasa kebanggaan bangsa Indonesia akan luntur dengan diserapnya bahasa-bahasa gaul yang tentu tidak pantas digunakan. Untuk mencegah “punahnya” Bahasa Indonesia, penting bagi seluruh masyarakat pemakai bahasa untuk segera memperbaiki kekeliruan-kekeliruan berbahasa seperti penggunaan bahasa gaul tersebut. Dan diharapkan sedini mungkin, masyarakat lebih mencintai dan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Usaha pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat pemakai bahasa itu sendiri. Sebab, kesadaran berbahasa itulah yang mendasari penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai situasi dan kondisi yang sedang dihadapi oleh si pemakai bahasa.

Nah, bagaimana dengan Anda?

(Adhitya Eri Setyawan)
STKIP PGRI Pacitan, Jawa Timur

Muhammad Iqbal: I'am Not Spiderman
Related Post