CUKUPKAH mengucapkan selamat kepada para guru kita yang berulang tahun pada setiap 25 November? Atau memperingatinya dengan melaksanakan upacara untuk mengenang jasa guru? Tentu tidak cukup. Ada persoalan lain yang sejatinya menjadi perhatian bersama, terutama yang berhubungan dengan hak-hak guru. Apakah hak mereka sudah diberikan atau masih menjadi utang yang hingga kini belum terlunasi? Saya melihat ada beberapa hak guru yang tampaknya hingga kini belum terpenuhi.
Jika merujuk pada Undang-undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen), bagian kedua, Pasal 14, ada 11 poin yang berkaitan dengan hak guru. Dalam tulisan ini, saya tidak akan menguraikan semuanya, tetapi hanya fokus pada beberapa hak guru yang dianggap masih belum dipenuhi oleh pemerintah saat ini.
Hak-hak guru
Hak-hak guru yang dimaksud antara lain: Pertama, hak guru sebagaimana tertuang pada point (c), bahwa guru berhak dalam memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugasnya dan hak atas kekayaan intelektual. Selain itu dalam poin (g), ditegaskan bahwa guru berhak memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam menjalankan tugas.
Pada kenyataannya, keberpihakan dan proteksi terhadap guru masih dipertanyakan, terutama pasca-diberlakukannya UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Banyak di antara guru yang harus berurusan dengan aparat kepolisian, diseret ke pengadilan dan harus mendekam di penjara lantaran divonis telah melakukan tindak kekerasan kepada anak didiknya dan menurut lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) dianggap melanggar.
Ironinya, ketika murid melakukan tindakan yang mengancam keselamatan dan nyawa guru, orang seenaknya mengatakan bahwa mereka masih anak-anak dan perlu terus dididik. Apakah ini tidak timpang? Penerapan UU perlindungan anak pada lembaga pendidikan tampaknya perlu dikaji ulang secara mendalam. Saya setuju kalau UU ini hadir untuk melindungi hak-hak anak. Namun di sisi lain, tampaknya guru mendapat tekanan psikologis dan terdiskriminasi.
Pengertian ‘kekerasan’ dalam UU ini juga perlu pemaknaan kembali dengan melihat dari berbagai aspeknya. Kalau ada guru yang membogem anak didik tanpa alasan yang jelas, kita sepakat bahwa ini tindak kekerasan dan guru harus diberi sanksi. Tapi jika guru mencubit tangan anak, menjewer kuping, skorsing, atau membersihkan pekarangan sekolah karena melanggar tata tertib sekolah, apakah sanksi seperti ini juga digolongkan kekerasan dan guru harus diseret ke pengadilan?
Hal ini perlu dipertegas karena ada beberapa kasus di sekolah, di mana sebenarnya guru tidak melakukan tindak kekerasan yang mengancam perkembangan fisik dan mental siswa, tetapi dituduh melakukan kekerasan dengan dalih melanggar HAM. Harus dicermati pula, ternyata banyak oknum penegak hukum yang memanfaatkan UU perlindungan anak sebagai lahan baru untuk mencari uang. Ini jelas tidak baik bagi keberlangsungan pendidikan di sekolah, terutama terkait kenyamanan dan independensi guru dalam menjalankan misi pendidikan.
Kedua, hak guru yang juga dianggap belum terpenuhi adalah sebagaimana tertuang dalam poin (f), yang berbunyi bahwa guru memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Berbicara kebebesan guru dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, maka fokus kita pasti tertuju pada Ujian Nasional (UN) yang selalu menjadi polemik di kalangan pakar, pemerhati, dan praktisi pendidikan.
Perampasan hak guru
Menurut saya, UN ini merupakan upaya perampasan hak guru dalam memberikan penilaian pada peserta didik dan menentukan kelulusan mereka, kecuali isi poin (f) tadi direvisi dulu dengan menegaskan bahwa guru tidak berhak dalam menentukan kelulusan. Atau, makna “memberikan penilaian dan menentukan kelulusan” tersebut perlu diperjelas, sampai di mana hak-hak guru dimaksud.
Ketiga, hak guru yang belum terpenuhi sebagaimana tertuang dalam poin (i), yang mengatakan bahwa guru memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan. Dalam praktik rupanya tidak demikian. Ternyata guru kita kurang memiliki ruang gerak yang leluasa untuk mengungkapkan ide, gagasan, dan kritikannya terhadap kebijakan pendidikan di negeri ini.
Ada semacam pembatasan bagi mereka untuk ikut ambil bagian dalam menentukan arah kebijakan pendidikan. Beberapa waktu lalu, misalnya, ketika banyak guru yang mengkritisi pergantian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013, pemerintah tampak sekali mengabaikan ‘ocehan’ mereka.
Ada semacam anggapan miring dari para administrator pendidikan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), seolah-olah guru tidak punya kapasitas dan kelayakan untuk mengoreksi kebijakan pendidikan. Mereka hanya ditugaskan untuk menjalankan kebijakan, bukan mengkritisi kebijakan. Kira-kira demikian.
Fakta lain yang menggambarkan ketidakberdayaan guru dalam menentang kebijakan pemerintah adalah regulasi sertifikasi guru. UU Guru dan Dosen mewajibkan setiap guru sertifikasi untuk mengajar minimal 24 jam dalam satu minggu. Peraturan ini banyak dikeluhkan guru karena keterbatasan kelas di sekolah mereka yang tidak memungkinkan memenuhi jam wajib tersebut. Untuk mengatasi kesuliatan ini, pemerintah pun menyarankan guru yang tidak cukup jam mengajar di sekolahnya untuk mencari sekolah lain agar kuota mengajar 24 jam terpenuhi.
Untuk kondisi sekarang, peraturan ini masih mungkin diberlakukan, meskipun terkesan dipaksakan. Lalu bagaimana kalau sebagian besar guru sudah disertifikasi, ke mana lagi mereka mencari sekolah untuk memenuhi jam wajib mengajarnya? Sementara guru di sekolah yang mereka tuju untuk memenuhi jam mengajarnya juga kekurangan jam mengajar. Hal ini harus menjadi pertimbangan pemerintah.
Jangan dipaksakan
Untuk itulah, pada Hari Guru 2013 ini kita berharap kepada administrator pendidikan, baik di Kemdikbud maupun Dinas Pendidikan provinsi dan kabupaten/kota, agar memperhatikan hak-hak guru dan memenuhinya sesuai amanah UU. Satu lagi, ketika menerapkan peraturan, pemerintah hendaknya melihat kenyataan di lapangan. Jika tidak memungkinkan suatu peraturan diterapkan, maka jangan dipaksakan agar guru tidak terbebani.
Meskipun demikian, kita juga berharap kepada guru agar tidak semata-mata menuntut haknya, tetapi harus terus berupaya meningkatkan kompetensinya sehingga menjadi guru profesional. Lebih dari itu, agar guru juga menjadi sosok yang ber-akhlakul karimah sehingga layak diteladani oleh peserta didiknya. Selamat Hari Guru, semoga pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Wa Allahu a’lam bi assawab!