X

Nama Indonesia kembali diharumkan anak bangsa di kancah internasional,

jaringanpelajaraceh.com-Jakarta (Kemenag)-Nama Indonesia kembali diharumkan anak bangsa di kancah internasional. Nun jauh di Saudi sana, santri penghafal Al Quran kelahiran Semarang ini didaulat menjadi juara III ajang Musabaqah Hafalan Al Quran tingkat internasional.

Prestasi  ini menjadi kado istimewa Hari Santri 2017 yang diperingati setiap 22 Oktober. Prestasi ini juga membanggakan karena untuk meraihnya harus bersaing dengan lebih dari 80 negara dari berbagai benua.

Dari Benua Afrika, ada peserta dari  Afrika Selatan, Djibouti, dan Nigeria. Dari Eropa, ada Bosnia, Norwegia, dan Inggris. “Dari Asia Tenggara, selain Indonesia, ada peserta dari Malaysia, Thailand, Kamboja, Filipina, dan Brunei Darussalam.

Namanya Muhammad Abdul Faqih atau akrab disapa Faqih. Remaja kelahiran 1996 ini menjadi delegasi Indonesia pada kancah internasional usai meraih prestasi di ajang nasional. Faqih tercatat menjadi juara II pada Sari Tilawah Al-Quran (STQ) Nasional tahun 2015 di Jakarta dan juara II Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional tahun 2016 di Nusa Tenggara Barat.

“Alhamdulillah, di usai 8 tahun, saya diberi taufiq (pertolongan) untuk menghafal Al Quran hingga khatam pada umur 12 tahun. Saya menghafal dengan Ayah sendiri,” kata Faqih melalui sambungan telepon, Minggu (15/10). Faqih saat itu masih berada di Saudi Arabia untuk persiapan kepulangan menuju Tanah Air.

Faqih mengaku mendapat dukungan dan motivasi dari keluarga selama menghafalkan Al-Quran, terutama Bapak yang bernama Muhammad Rifa’i, Ibunya yang bernama Sri Purwati, dan kakak-kakaknya.

Menjadi Santri

Faqih saat ini tercatat sebagai santri Pesantren Al Munawir Krapyak. Sejak 2014, Faqih ngaji di pesantren yang sudah melahirkan ribuan ahli Al-Quran itu.

Perjalanan intelektual (rihlah ilmiah) Faqih dimulai sejak tahun 2008. Lulus dari MI Muftahul Huda Lopait Tuntang Semarang, Faqih memilih melanjutkan belajarnya di MTs Pondok Pesantren Al Falah Ploso Mojo Kediri. Pendidikannya berlanjut hingga lulus MA di pesantren yang sama.

“Saya nyantri sejak umur 12 tahun di Ponpes Al Falah Ploso Kediri,” tuturnya.

Dari Pesantren Ploso, sejak tiga tahun lalu, Faqih  melanjutkan belajarnya di Pesantren Al Munawir Krapyak. Di sini, Faqih  menekuni Qiraah Sab’ah. “Saya berharap bisa menyelesaikan ngaji Qiraah Sab’ah ini tahun depan,” harapnya.

Dari Krapyak, Faqih berencana melanjutkan pendidikannya pada jenjang perkuliahan. Dia belum bisa menyebut pasti akan kuliah di mana. Tapi dia berharap bisa kuliah di daerah Semaran agar bisa  mengabdi dengan masyarakat dan keluarga.

“Saya ingin menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain. Juga  ingin menjadi seseorang yang shalih baik secara ritual maupun sosial,” ujarnya.

Kenapa Nyantri

Ada tiga alasan kenapa Faqih memilih untuk menjadi santri. Pertama: ingin mengikuti jejak para tokoh-tokoh Agama di Indonesia. Menurutnya,  banyak tokoh bangsa pada abad  19 yang berasal dari kalangan pesantren.  “Sang Proklamator Kemerdekaan Bapak Soekarno pun juga pernah nyantri di Syaikhona Kholil Bangkalan. Presiden keempat, Gus Dur pun juga jebolan pesantren,” katanya.

Alasan kedua, kata Faqih, karena hubungan dan tata karma (adab) antara santri dan kyai di pesantren sangat diutamakan, jauh dari hubungan yang terbentuk antara murid dan guru di pendidikan umum. “Di pesantren, pertama kali yang diutamakan adalah adab kemudian ilmu. Al-‘ilmu fauqal adab,” kutipnya.

Sedang alasan ketiga, karena di pesantren, santri banyak diajari  ilmu agama.

Makna Hari Santri

Atas prestasi yang diraihnya, Faqih akan menjadi salah satu tamu undangan pada Puncak Perayaan Hari Santri di Semarang pada 22 Oktober mendatang. Faqih sendiri mengaku bangga menjadi santri. Karenanya, Hari Santri mempunyai makna tersendiri baginya.

Menurut Faqih, 22 Oktober 1945 adalah hari saat para ulama dan santri berjuang  memerangi Kolonial Belanda demi  mmpertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjaga keutuhan Negara.  Santri masa kini dan masa depan juga harus berjuang dengan cara memerangi hawa nafsu sehingga bisa mencari ilmu sedalam-dalamnya.

“Santri juga harus memperkuat jiwa religius keislaman dan kebangsaan, agar bisa menjaga kekuatan Islam, keutuhan NKRI dan melindungi negara ini dari adu domba,” tandasnya.

Gerbang pengabdian kini sudah terbuka lebar di hadapan Muhammad Abdul Faqih. Pengagum KH. Hasyim Asy’ari ini sendiri berkomitmen untuk mulai mengabdikan ilmunya kepada masyakat. Dia mengaku terinspirasi dengan jiwa nasionalisme Pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama ini sehingga ingin menjadi pribadi yang bermanfaat bagi nusa, bangsa, dan agama. Dan, itu akan dimulainya dari lingkungan terdekat rumahnya di Semarang.

 

sumber:https://kemenag.go.id

Dekgam Dekgam: aceh lon sayang
Related Post