X

Penyandang Tunanetra Tak “Gaptek”

JAKARTA, KOMPAS.com – Penyandang tunanetra tak kalah dengan yang bermata awas dalam mengakses teknologi informasi. Mereka belajar memaksimalkan teknologi informasi dan komunikasi bagi kehidupan mereka. Caranya? Mereka mendengarkan ”gadget berbicara”.
”Dengarkan instruksinya, lalu kita ketukkan jari di layar. Putar-putar sedikit. Nanti laman akan terbuka,” ujar Adi Ariyanto (36), yang duduk di tengah ruangan, dikerubungi rekan-rekannya. Semuanya tunanetra.
Tak berapa lama kemudian, telepon pintar Adi bersuara membacakan tulisan di layar. Adi mengandalkan pendengaran dan ketukan jari sebagai navigasi ketika menggunakan telepon pintar alias smartphone. Kali itu, dia mengandalkan voice over di telepon genggamnya.
Saat itu Adi Ariyanto sedang memperagakan kepada sesama tunanetra cara mengeksplorasi teknologi telepon pintar. Di rumah salah satu anggota, Yudhi Hermawan, di Pondok Cabe, sekitar 30 tunanetra berdatangan dari berbagai wilayah Jakarta berbekal tongkat peraba jalan. Ada yang menumpang ojek langganan, kendaraan umum, ataupun diantar oleh sahabat dan kerabat. Beramai-ramai anggota komunitas IT Center for The Blinds (ITCFB) belajar aplikasi di telepon pintar.
Teknologi informasi dan komunikasi memudahkan kehidupan tunanetra. Adi menjelaskan tentang aplikasi lookaround berupa peta yang dapat menyebutkan, tidak hanya nama jalan, tetapi juga nomor rumah. Kemudian dia bercerita tentang aplikasi taptapsee bahkan memungkinkan tunanetra mengenali gambar yang terekam sebuah foto. ”Kita tinggal foto bendanya nanti aplikasi di telepon pintarnya akan bersuara mengatakan gambar apa itu. Contohnya, gambar perempuan duduk di kursi. Aplikasinya akan menyebutkan a woman is sitting on the chair ketika gambar itu muncul,” ujar Adi.
”Wah, penting, nih, bisa tahu duit, ha-ha,” celetuk anggota lainnya, Yudhi Hermawan (20). ”Betul tuh, he-he-he. Aplikasi ini bisa deteksi koin atau nilai pada uang kertas. Bisa juga kita pakai untuk baca buku di perpustakaan,” timpal Adi.

Mencerahkan
Kumpul-kumpul anggota ITCFB yang diramaikan dengan kocokan arisan bulanan itu sudah berlangsung tujuh kali. Dan, setiap kalinya, selalu ada anggota yang berbagi informasi khusus tentang teknologi informasi.
Sejak berdiri pada Juni 2012,
ITCFB berfokus pada bidang teknologi informasi bagi tunanetra. Komunitas dicetuskan oleh empat orang tunanetra, yaitu Aris Yohanes, Ahmad Ali Shahab, Rafik Akbar, dan Muhammad Hasbi yang tertarik bidang IT dan ingin memajukan tunanetra di Indonesia dalam bidang IT.
Tunanetra berpeluang memanfaatkan teknologi. Sayangnya, belum semua tunanetra paham mengaksesnya. ”Tunanetra yang sudah lama biasanya sudah kenal teknologi yang dapat membantu mereka. Tetapi, mereka yang baru menjadi tunanetra itu yang cenderung putus asa. Mereka akan merasa terhibur begitu tahu, ” papar Aris Yohanes (28).
Semula, anggota ITCFB berdiskusi tentang teknologi informasi di jejaring sosial. Banyak tunanetra yang mempunyai akun jejaring sosial. Grup diskusi ITCFB ini bukan hanya diperuntukkan bagi para tunanetra. Masyarakat luas pun diharapkan dapat bergabung. Semakin banyak orang yang bergabung dan aktif memberikan informasi teknologi, kian berlimpah informasi dan ilmu yang dapat diterapkan oleh tunanetra. Anggota di jejaring sosial mencapai 1.200 orang.
Mereka lalu merilis sebuah website yang menyajikan informasi teknologi yang aksesibel bagi tunanetra. Website itu dilengkapi dengan program tutorial audio yang dijalankan dengan menggunakan radio streaming. Tak puas hanya di dunia maya, mereka lalu kopi darat untuk berbagi ilmu. Kata Aris, teknologi yang diaplikasikan oleh tunanetra berbeda karena kebutuhannya pun berbeda. ”Teknologi informasi yang paling bermanfaat bagi tunanetra terutama berbasis screen reader atau pembaca layar dan Braille,” ujarnya.
Akses terhadap teknologi mencerahkan kehidupan tunanetra. Yudhi Hermawan mengatakan, mulai ada tunanetra yang bekerja sebagai pegawai telemarketing yang selalu berhubungan dengan nasabah melalui komputer dan jalur telepon. ”Untuk bekerja sebagai telemarketing, kami mesti paham teknologi informasi dan komunikasi. Tunanetra perlu dibekali teknologi dan kemampuan mengaksesnya. Nantinya, tidak ada alasan masyarakat memandang tunanetra itu tidak bisa apa-apa,” ujar Yudhi, yang bekerja sebagai pegawai telemarketing di bank swasta itu.

Membuat peranti lunak
Tak kalah canggih, sibel bagi tunanetra Indonesia. Para pemrogram kerap tidak terpikir soal aksesibilitas. ITCFB telah merilis software perdananya, Makfufin Adzan Software Accessible (MASA).
”Itu software pengingat waktu shalat dan kalender Hijriah bagi tunanetra. Sudah ada peranti lunak serupa, tetapi tidak terakses dan tidak cocok programnya untuk komputer milik tunanetra yang biasanya menggunakan program khusus pembaca layar,” ujar Aris. Komunitas tunanetra itu juga membuat program pengubah browser menjadi versi mobile.
Demi berbagi ilmu, anggota ITCFB mengadakan pula acara tekno keliling ke berbagai daerah. Workshop itu bertujuan memotivasi tunanetra di berbagai daerah agar mengakses teknologi. ”Belum semua tunanetra tahu kalau telepon pintar ada yang bisa ’bicara’, apalagi di daerah-daerah. Kami ingin banyak merambah ke daerah untuk mengedukasi teman-teman mengakses gadget,” ujar Aris.
Tidak mesti mengikuti pendidikan khusus teknologi informasi untuk mengakses teknologi itu. Aris dan Yudhi yang merupakan pegiat di ITCFB, misalnya, berpendidikan SMA dan bekerja di bidang telemarketing. Namun, sejak lama mereka sangat menyukai teknologi informasi dan piawai mengaksesnya. Bahkan, Aris mampu membuat program. Sudah tidak zaman lagi anggapan bahwa tunanetra terbelakang dalam urusan teknologi. Mereka menunjukkan tunanetra pun bisa ”melek teknologi”.

Redaksi:
Related Post