Jaringanpelajaraceh.com-Jakarta -Tak lama setelah menjejakkan kaki di bumi Serambi Mekah pada 2005, Endang Moerdopo segera mencari tahu lokasi makam Laksamana Keumala Hayati (Malahayati) di Krueng Raya, Banda Aceh. Meski ditemani beberapa warga lokal, nyatanya staf Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh itu tak langsung dapat menemukannya. Barulah di hari kesekian, kompleks pemakaman yang dimaksud ia dapati.
“Kondisinya waktu itu cukup memprihatinkan. Warga yang mengungsi menjemur pakaian mereka di lokasi tersebut,” tutur Endang membuka cerita kepada detikcom, Kamis (9/11/2017).
Entah kenapa, ia melanjutkan, dari kunjungan pertama ke makam itu kemudian ada semacam tarikan untuk menziarahinya secara rutin di sela-sela tugas. Perempuan kelahiran Yogyakarta, 5 April 1968, itu juga banyak menggali cerita seputar Malahayati dari warga dan tokoh masyarakat yang ditemuinya. Referensi seputar Malahayati pun ia himpun. Padahal, selain untuk bekerja di BRR, kehadirannya di Aceh dalam rangka menulis tesis, bukan novel tentang Malahayati.
“Aku sampai mencari rujukan ke Malaysia. Idealnya sih ke Spanyol dan Belanda juga, tapi nggak kuat ongkosnya, ha-ha-ha…,” kata Endang.
Dalam novel setebal 350 halaman yang kemudian diberi judul ‘Perempuan Keumala’ itu, Endang memulai cerita biografis Malahayati sejak menjalani pendidikan di tempat belajar militer kerajaan, yaitu Mahad Baitul Maqdis, di Kutaraja. Tempat inilah yang mencetak para perwira tangguh yang memperkuat pertahanan Kerajaan Aceh Darussalam. Di tempat belajar ini pula Malahayati bertemu dengan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, taruna senior yang kemudian menjadi suaminya. Saat sang suami menjadi Panglima Armada Selat Malaka, Malahayati menjadi Komandan Protokol Istana.
Kisah sepak terjang keberanian Malahayati di Kerajaan Darud Donya Darussalam berawal dari kematian Tuanku Mahmuddin dalam pertempuran di Teluk Haru. Derita itu disusul oleh cobaan lain, yakni putri semata wayangnya diculik oleh petinggi kerajaan sebagai bagian dari intrik keluarga kerajaan.
Masalah bertambah oleh kondisi di lapangan, ketika ada orang-orang kaya di Aceh yang bersekutu dengan Portugis demi keuntungan pribadi. Juga ada rencana kudeta oleh Sultan Muda, putra bungsu Baginda Sultansendiri.
Di tengah situasi yang serba menjepitnya, Malahayati mencoba bangkit. Posisinya sebagai Laksamana Laut berkewajiban menjaga Selat Malaka dari gangguan berbagai pihak. Dia, antara lain, membangun pasukan yang terdiri dari para janda korban perang, yang kemudian dikenal dengan sebutan Inong Balee (armada janda). Melatih mereka, para janda, tentu tak mudah. Nama Laksamana Malahayati semakin disegani setelah berhasil menikam Cornelis de Houtman dengan rencong sampai tewas di atas geladak kapalnya.
Dalam kata pengantar novel ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menyatakan, bila diberi kesempatan untuk berpartisipasi dan mengambil keputusan, ternyata perempuan mampu memilih berjuang dengan gagah berani tanpa meninggalkan kasih sayang dan kelembutan hati seorang perempuan sejati.
“Laksamana Malahayati telah memilih untuk selalu setia kepada rajanya dan berjuang untuk membela negaranya,” tulis Meutia.
sumber:https://news.detik.com