X

Persoalan Guru Kontrak di Aceh

Oleh Muksalmina

Jaringanpelajaraceh.com-BEBERAPA pekan terakhir, dunia pendidikan Aceh dihangatkan dengan masalah guru dan tenaga kependidikan non-PNS (Pegawai Negeri Sipil). Namun sebelumnya, mari kita sepakati dulu penggunaan nama guru dan tenaga non-PNS, guru dan tenaga pendidikan non-PNS adalah sebutan bagi tenaga administrasi, guru honor, kontrak, bakti, ataupun guru yayasan yang tidak memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP), karena jenis dan kategorinya sangat beragam, maka guru tersebut kita kelompok sebagai guru dan tenaga pendidikan non-PNS.

Sekarang mari kita lihat data dan fakta tentang kondisi guru di Aceh saat ini, khususnya guru jenjang pendidikan menengah saja. Jumlah guru SMA dan SMK di Aceh saat ini sebanyak 20.667 orang, terdiri dari 11.389 guru PNS dan 9.278 guru non-PNS. Jika kita bandingkan dengan jumlah siswa, maka rasio guru di Aceh 1:9.61 untuk SMA dan 1:9.06 untuk SMK. Ini tentu sangat tidak ideal karena saat ini rata-rata Nasional rasio guru jenjang pendidikan menengah adalah 1:15.66 untuk SMA dan 1:17 untuk SMK (niep.data.kemdikbud.go.id).

erdasarkan rasio tersebut, Aceh sudah booming guru. Seharusnya dengan banyaknya guru di Aceh, maka mutu pendidikan Aceh akan jauh lebih baik, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Mengapa? Saat ini banyak guru menumpuk di kota, sedangkan di pedalaman banyak sekolah kekurangan guru. Masalah lainnya adalah guru berlebih pada mata pelajaran tertentu seperti guru Agama, Biologi, Matematika, Kimia dan Fisika, sedangkan guru mata pelajaran Antropologi ataupun Sosiologi hampir tidak ada di sekolah. Penyebab lainnya adalah masih rendahnya mutu dan kualitas lulusan para guru. Diterima atau tidak analisis ini, fakta di lapangan telah membuktikannya mulai dari nilai dan tingkat kelulusan guru pada UKG/UTN.

Kesejahteraan guru
Tingkat kesejahteraan guru juga mempengaruhi mutu guru. Saat ini, Pemerintah Aceh yang katanya kaya raya, ternyata kewalahan membayar gaji guru non-PNS yang hanya Rp 15.000 per tatap muka, yang jika diakumulasi perbulannya jauh di bawah UMR (Upah Minimum Regional). Namun di lain pihak Pemerintah Aceh membayar gaji non-PNS yang tidak perlu dibayar. Sebagai contoh kasus adalah pada sebuah sekolah, jam mengajar guru PNS di bagi sebagian kepada guru non-PNS agar guru non-PNS di sekolah tersebut mendapat bayaran dari Pemerintah Aceh. Padahal, guru non-PNS itu tidak dibutuhkan karena jumlah jam mengajar di sekolah tersebut bisa diasuh seluruhnya oleh guru PNS yang ada.

Guru yang berlebih tidak menjamin mutu pendidikan bagus, namun guru yang bermutu dengan jumlah yang sesuai mata pelajaran dan kebutuhan serta penyebaran yang merata akan menjamin peningkatan mutu pendidikan di suatu daerah. Sehingga masalah ini bukan hanya menyangkut guru non-PNS saja, namun juga menyangkut dengan guru PNS, sehingga langkah-langkaah yang harus dilakukan pemerintah, antara lain: Pertama, pemerintah Aceh harus menata ulang persebaran guru PNS, mengatur ulang distribusi guru PNS sesuai dengan kebutuhan dan peraturan yang berlaku. Jika guru PNS terdistribusi dengan benar, maka kita akan mengetahui berapa jumlah guru non-PNS yang dibutuhkan untuk menutup kekurangan dari guru PNS.

Kedua, pemerintah harus melakukan sosialisasi terlebih dulu kepada masyarakat tentang hasil analisis kebutuhan guru di Aceh. Semua pihak harus diberi pengertian bahwa saat ini jumlah guru sudah berlebih, dan ini membebani anggaran belajar pemerintah yang seharusnya di gunakan pembangunan. Rakyat juga harus diberitahu, guru mata pelajaran apa saja yang dibutuhkan saat ini sehingga mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya pada perguruan tinggi yang memiliki jurusan tersebut. Sosialisasi ini sangat penting agar tidak menimbulkan antipati rakyat terhadap program pemerataan guru yang akan dilakukan pemerintah Aceh.

Ketiga, pemerintah harus melakukan negosiasi dengan perguruan tinggi di Aceh guna menghentikan sementara penerimaan mahasiswa baru pada jurusan tertentu yang lulusan sudah berlebih di lapangan dan membuka jurusan lain yang jurusan dan keahliannya masih dibutuhkan di lapangan, terutama guru-guru produktif SMK. Jika langkah ini tidak dilakukan maka kelebihan guru tidak akan terbendung dan Pemerintah akan mendapat tekanan yang sangat besar dari publik terkait penyediaan lapangan kerja untuk para guru tersebut.

Dan, keempat, pemerintah harus menyeleksi kembali guru dan tenaga Kependidikan Non PNS berdasarkan analisis kebutuhan yang telah dilakukan sebelumnya.Berkaca pada pengalaman seleksi yang pernah dilakukan di Pemerintah Aceh yang masih jauh dari azas keadilan, maka seleksi guru kontrak ini harus dilakukan dengan melibatkan Kemdikbud RI sebagai penanggung jawab pembinaan guru di seluruh Indonesia. Seleksi harus dilakukan secara online dan pengumumannya harus realtime, sehingga setiap guru non-PNS mendapat hak dan kesempatan yang sama. Jika ini dilakukan maka tingkat kecurangan dan nepotisme dapat ditekan.

Sulit direalisasikan
Langkah-langkah strategis tersebut akan sangat sulit direalisasikan oleh Pemerintah Aceh, jika tidak mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat. Sehingga peran tokoh masyarakat juga harus dikedepankan untuk menyosialisasikan rencana seleksi guru non-PNS. Apalagi banyak isu tidak jelas yang menyebutkan bahwa suatu saat nanti guru non-PNS akan diangkat menjadi PNS. Padahal, itu tidak mungkin terjadi lagi sejak UU Aparatur Sipil Negara (UU ASN) diberlakukan.

Mungkin kita menghadapi kondisi paradoks terhadap seleksi ulang guru dan tenaga kependidikan non-PNS karena di satu sisi guru-guru Non PNS tersebut adalah anak atau saudara kita. Namun di sisi lain kita harus bersikap rasional dan objektif; apa kita rela anak-anak kita dididik oleh guru yang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai untuk berdiri di depan kelas. Logika ini harus tertanam dalam kepala setiap rakyat Aceh, sehingga program seleksi guru non-PNS dapat dilaksanakan, dan yang paling penting seleksi harus dilaksanakan secara online, objektif, dan pengumumannya harus realtime.

Pemerintah Aceh harus tegas menghadapi setiap tekanan, karena di luar sana juga masih banyak para sarjana pendidikanyang tidak memiliki kesempatan untuk menjadi tenaga honor/kontrak di sekolah, karena tidak memiliki orang dalam baik di dinas ataupun di sekolah, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa hanya anak-anak orang tertentu saja yang bisa menjadi tenaga kontrak.

Sejak 2005 pemerintah pusat telah melarang instansi pemerintah mengangkat tenaga kontrak/honor melalui PP No.43 Tahun 2007 yang beberapa kali diubah, terakhir dengan PP No.56 Tahun 2012 ditegaskan kembali “Sejak ditetapkannya PP ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan PP.” Dan ini dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk melakukan seleksi ulang guru dan tenaga kependidikan non-PNS sesuai dengan analisis kebutuhan melalui tes yang jujur, adil dan objektif. Nah!

* Muksalmina, S.Pd, M.Si., PNS di Dinas Pendidikan Aceh. Email: muksalmina81@gmail.com

 

sumber:http://aceh.tribunnews.com

Dekgam Dekgam: aceh lon sayang
Related Post