JAKARTA – Sistem pendidikan di Indonesia dinilai berpusat pada tradisi bukan kreatifitas. Bahkan, berpusat pada hasil akhir, dan hanya sebagai uji ingatan. Serta bukan pada proses perbaikan yang diamati dan dicatat dari waktu ke waktu.
Psikolog Pendidikan Anak Novita Tandry mencontohkan Hot Spot, merupakan kurikulum dinamis dan pembahasan masalah yang tidak didasarkan pada buku wajib, melainkan dibahas dan dikembangkan dari kasus-kasus yang sedang terjadi di sekitar kehidupan anak-anak.
Sementara tradisi kurikulum adalah statis, selalu sama yang diajarkan dan sering kali tidak relevan dengan perubahan zaman yang dialami siswanya sekarang, sehingga pendidikan dari waktu ke waktu tidak mengalami kemajuan.
Ingat ketika kita masih kecil, bagaimana diajari menggambar, apa yang digambar, seperti pemandangan dengan dua buah gunung, jalan di tengahnya, pohon di pinggir jalan. Nah, itulah salah satu contoh metode tradisi dalam mengajar.
“Sekolah lebih tepat disebut sebagai Lembaga Pengajaran, bukan Lembaga Pendidikan. Mengajar adalah membuat tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa. Sedangkan mendidik adalah membuat anak tidak mau menjadi mau. Sasaran mengajar adalah ilmu, sedangkan sasaran mendidik adalah moral dan karakter,” tuturnya kepada Okezone, Rabu (27/11/2013).
Oleh karena itu, lanjut dia, wajar jika banyak anak didik di sekolah yang justru memiliki karakter sama seperti orang yang tidak terdidik.
Novita pun mengkritik guru sebagai penguji bukan sebagai pembimbing. Bahkan, dia merasa guru tidak bertanggung jawab terhadap kegagalan para siswanya dalam ujian yang dibuatnya sendiri.
“Salah satu sistem pendidikan di perguruan tinggi di AS menempatkan dosen sebagai pendamping, sedangkan yang menentukan kelulusan adalah pihak luar sekolah yang juga merupakan user dari si siswa. Kegagalan siswa dalam ujian sekaligus menunjukkan kegagalan dosen dalam mengajar,” pungkas dia. (okezone.com)