close

Cerpen

Cerpen

DAGING MEUGANG BUAT EMAK

(foto : Ilustrasi penulis meugang bersama emak)

Sudah tiga kali bolak balek saya masuk ke mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri), tapi belum ada perubahan apa-apa, padahal sudah semingu yang lalu bendahara di sekolahku menyodorkan daftar penerimaan uang meugang. Sebut saja bendahara saya namanya “Syukri”, masih teringat dibenakku bagaimana beliau berguma saat aku meneken aprahan tersebut. Pak silahkan teken, biar segera dibawa ke dinas untuk dicairkan. Dalam hatiku begitu girang, karena melihat angka rupiah yang lumayan besar untuk kategori kehidupanku.

Tak ada yang kupikirkan selain uang itu akan segera cair dan tentunya emak ku begitu senang ketika aku menenteng sedikit daging untuk beliau masak. Aku begitu sedih kalau emak ku harus mencium aroma rendang, masak puteh ataupun masak mirah kesukaan beliau dari dapur tetangga.

Pikiran ku terus melayang, hari menjelang ramadhan, tapi uang harapannku untuk beli daging meugang untuk emak belum kunjung cair.

Emak ku sekarang sudah berumur senja, tinggal di sebuah kampung jauh dari tempat tinggalku. Beberapa waktu yang lalu aku pernah menjeguk beliau, ketika itu beliau mengeluh sakit, badan lemas, kepala pusing. Walaupun dalam keadaan sakit, beliau masih sanggup berjalan ke batas kampungku melihat sawah yang padinya mulai menguning.

Apakah beliau berharap, padi yang menguning bisa segera panen sebelum meugang tiba. Tapi aku yakin sampai meugang tiba, sawah emak ku pasti tidak akan panen.

Jauh dari kehidupan beliau, di sebuah kota, aku masih duduk termenung dengan segelas kopi yang masih hangat di meja. Perlahan kuseduh kopi itu dengan semangat, semangat itu sebagai harapan aku menunggu uang meugang agar segera keluar. Aku tidak berani lagi ke ATM, karena rasa malu dengan bapak satpam yang setia menjaga mesin itu.

Aku menghelai nafas panjang, pikiran jauh melayang, aku yakin tahun ini Emak ku pasti tidak bisa menikmati nikmatnya daging meugang.

Emak, maafkan anakmu yang tidak bisa membuat engkau bahagia menyambut bulan ramadhan tahun ini dengan menikmati daging di hari meugang. Emak, dulu ketika aku masih kanak-kanak, engkau berusaha keras agar aku tidak berlinang air mana melihat kawan sebayaku yang begitu lahap menikmati daging meugang yang dimasak ibunya.

Emak,,,kuyakin disepertiga malam engkau selalu berdoa, agar aku menjadi orang sukses dan bisa membahagiakan mu kelak. Emak,, aku yakin keringat yang kau kucurkan dipanasnya terik matahari, bersusah payah engkau di lumpur semuanya pasti untukku, agar tidak merasa terkucilkan diantara teman-teman sebaya ku tempo itu.

Tiba-tiba lamunanku sirna, seiring dering hp jadul yang berbunyi di kantong ku. Segera kulihat layar hitam hp ku, tertulis kak Nabon memanggil, aku kenal nama itu, beliau tetangga samping rumahku. Seketika aku angkat, dari jauh disana terdengar suara serak yang tak asing ditelinga ku.

Assalamualaikum neuk, kiban keadaan, pue sehat. Aku bergetar mendengar salam dari emak ku yang tiba-tiba menelpon. Segera ku jawab salam, Walaikum salam mak, lon sehat, kiban keadaan emak. Get neuk jawab emak ku lembut. Pajan kawoe neuk, lanjutnya berguma. Makin bergetar tubuhku, mendengar pertanyaan itu. Belum sempat aku menjawabnya, beliau melanjutkan, lon hana lon preh aneuk kaya, hana lon preh aneuk jeut keu peujabat, kawoe neuk kasaweu mak di gampong.

Tak terasa, air mata membasahi meja tempat aku duduk. Apa yang harus kujawab, didompetku hanya tersisa uang untuk bayar kopi yang sudah kupesan. Kemana harus aku mengadu, alasan apa harus kusampaikan pada emak ku, bahwa anaknya tidak bisa berbuat banyak untuk kebahagiaanya di hari meugang ini. Ampunilah dosa hambamu ini ya Allah, kemana kawan-kawan ku, kemana orang yang selama ini aku bela-belain, sampai aku menghabiskan waktu jatah keluarga untuk membantu pekerjaannya, padahal hari ini aku sangat butuh bantuannya agar aku bisa mengirimkan daging meugang untuk emakku.

Tanpa kusadari, dari belakang seseorang sangat kukenal, beliau bukan siapa-siapa dalam kehidupannku sekarang, menepuk pundakku, sambil berguma, kenapa termenung ? Apakah ada masalah ?. Sambil tersenyum malu dan setengah sadar aku menjawab. Tidak ada pak, maklum gada kawan, kadang mereka lagi mencari daging meugang untuk keluarganya.

Setelah beliau pesan kopi, melanjutkan pertanyaan, yang sebenarnya tak ingin ku dengar, kapan pulang kampung? Apakah tidak ada rencana jenguk keluarga. Tidak pak, banyak sekali kegiatan, jawabku mengelak. Pulanglah, lanjutnya, ini sedikit untuk daging meugang, walau tidak banyak tapi cukup untuk membeli sedikit daging. Ya Allah gumaku dalam hati, Allah telah mengirimkan orang, untuk ku bisa membahagiakan emak, renungku. Terima kasih jawabku, semoga berkah, lanjutnya.

Segera, kuhidupkan motor butut, peninggalan orang tua ku dulu. Wajah cemas sudah berganti riang sekarang. Karena aku yakin, emak ku pasti sangat senang hari ini, menunggu kedatangan anaknya.

Tiga jam berlalu, aku sudah berada tepat di depan pintu rumah emak ku, kuucapkan salam perlahan, dari dalam terdengar orang menjawab salam, mak…kupeluk beliau, ketika pintu belum sepenuhnya di buka. Maafkan aku, maafkan anakmu. Ini daging meugang untuk mu Mak.

Penulis merupakan Satgas Literasi IGI Aceh (cerpen ini sudah pernah dimuat di jurnal pasee)

read more
Cerpen

TRAGEDI TAIK KUCING DI KERAJAAN BLANG RAYA

 

(Gambar : Ilustrasi Kerajaan Blang Raya)

Alkisah tersebutlah sebuah negeri, dipenghujung pulau kerajaan Blang Raya namanya. Pada suatu hari sang raja diundang oleh hulubalang ke sebuah acara negara. Menurut isu yang berkembang di istana, hari itu akan datang calon prajurit dari sebuah kerajaan seberang ingin belajar ilmu kanuragan di negeri tersebut.

Menjelang malam sebelum acara tersebut dilaksanakan, sang raja sudah memerintahkan panglima perang untuk menghias balairoom istana yang megah tersebut.
Panglima, panggil sang raja kala itu.
Siapkan kursi-kursi yang empuk untuk tamu kita.
Siap baginda, titah segera saya laksanakan.
Tidak menunggu lama, panglima sudah memerintahkan pada anak buahnya untuk menyiapkan tempat sedemikian rupa, seperti titah sang raja.
Menjelang tengah malam, semua persiapan sudah di persiapkan oleh panglima perang bersama para prajurit.

Esok pagi, burung-burung berkicau seperti biasa di perkarangan istana.
Tidak ada tanda-tanda hari itu akan turun hujan, karena mentari yang mulai keluar dari ufuk timur memancar dengan terang.
Kehidupan pagi itu di istana, berjalan seperti biasa.
Beberapa penjaga masih siaga di pos depan.
Terlihat di belakang istana, para istri-istri prajuri lagi menjemur belimbing.
Panglima perang juga sedang, disamping istana melihat kuda-kuda jantan.
Terlihat sang raja sedang, bermain di taman bersama kupu-kupu.

Menjelang tengah hari, para prajurit dari negeri seberang sudah mulai datang satu persatu mengenderai kuda masing-masing.
Sesuai arahan hulubalang, mereka langsung menuju balairoom istana yang sudah disiapkan.

Dengan tergesa-gesa panglima menghadap raja.
Daulat tuanku raja, acara akan segera kita mulai.
Semua prajurit negeri seberang menunggu raja di balairoom.
Baik, saya akan bersiap-siap.

Dengan gagah perkasa sang raja menuju balairoom istana.
Terlihat dikebun istana, dua orang prajurit sedang memetik belimbing.
Begitu melihat raja datang, semakin semangat mereka memetiknya.
Sambil berlalu, raja berkata,,,, bagus..bagus..bagus.
Kalian memang prajurit terbaik.
Setelah musim panen tahun ini, saya angkat kalian menjadi pengawal pribadi saya.

Dengan mata berbinar dan perasaan bahagia, kedua prajurit itu, segera mendekati raja.
Terima kasih banyak baginda
Saya siap membantu baginda. Kata seorang prajurit dengan percaya diri.

Raja terus berjalan menuju aula, kedua prajurit itu terus mengikuti sang raja dari belakang.
Ketika sang raja masuk ke balairoom istana, dan akan duduk ditempat yang sudah disediakan.
Terlihat muka raja berubah menjadi merah,
Pandangannya mulai berbinar
Tatapannya mulai tajam.

Panglima perang yang sedang disamping raja segera mencari tahu, ada apa gerangan sang raja mulai murka.
Ternyata, di atas meja sang raja,, tampak taik kucing berceceran dan mencret lagi.
Gawat pikir panglima,,, dengan pucat basi.

Melihat gelagat itu,, dua prajurit tadi langsung beraksi
dan menghampiri sang raja.
Daulat tuanku,, masalah taik kucing ini, biar kami yang bereskan. Kata kedua prajurit tadi dengan gagah berani.

Oooooo, kalian memang luar biasa,,.. kata raja dengan penuh wibawa.
Dengan cekatan, kedua prajurit tersebut langsung mengambil taplak meja, dan mengeluarkannya. Untuk dibersihkan.

Selang beberapa menit, kedua prajurit langsung kembali lagi menghadap raja.
Baginda,,, taik kucing sudah kami bersihkan, taplak meja juga sudah kami sikat sampai wangi.

Yayayayayaya… kalian memang layak diangkat jadi perdana mentri setelah musim rambutan tahun ini. Kata raja dengan penuh wibawa dan terlihat senang.

Panglima perang yang disamping, merasa heran… wah hebat kedua prajurit ini, dalam tempo 5 menit masalah taik kucing mencret bisa diatasi.

Acara hari itu berlangsung sampai sukses, dan diterimalah calon-calon prajurit dari negeri seberang untuk menimba ilmu membelah diri di kerajaan Blang Raya.

Setelah selesai acara, panglima perang keluar balairoom, untuk mengecek kuda-kuda prajurit yang diikat diluar.
Setelah berjalan beberapa meter di luar halaman, panglima melihat ada bungkusan kain dipojok balairoom.
Kain apa itu gerangan, pikir panglima !!!
Apa ada orang yang membuang bayi !! Pikirnya bertanya-tanya

Dia dekati perlahan, sampil mengintip lewat celah- celah tumbuhan di perkarangan itu.
Tidak ada tanda-tanda, suara bayi dalam bungkusan itu.
Dengan menggunakan ujung pedang, digeser-geser kain itu.

Dengan wajah terkejut,,,, setelah melihat jelas kain tersebut. Ternyata itu taplak meja yang kena taik kucing, dibuang begitu saja sama prajurit tadi.

Apa juga sudah dibersihkan dan disikat katanya didepan raja tadi.. pikir panglima.

“TAIK KUCING JUGA RUPANYA”…. guma panglima dengan kesal. (PYM)

Penulis : Merupakan Penggiat Literasi Aceh

Catatan : cerita ini hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan tokoh dan tempat itu hanya kebetulan saja, tanpa disengaja oleh penulis.

read more
Cerpen

Taburan Bunga Keumala (Prolog)

Tahun 1562 Sultan Alauddin al-Qahhar meminta bantuan kepada Sultan kami Suleiman Agung untuk mendapatkan persekutuan suci, Para kafir mulai menancapkan kuku-kuku busuk di dataran Asia. Kesultanan Aceh menjadi satu satunya penguasa di Asia yang gigih mengusir para pengacau tersebut, sehingga Suleiman Agung tidak memiliki alasan untuk menolak persekutuan tersebut.

Pada Tahun 1566 dibawah pimpinan Laksamana Ottoman Kurdoğlu Hayreddin Hızır Reis yang telah memiliki jutaan pengalaman berperang dan sudah menjelajahi hingga ke negeri putih, Dia memimpin sebuah ekspedisi menuju ke Kesultanan Aceh guna menjawab permintaan pesekutuan suci tersebut, walaupun sebelumnya dia diperintah Sultan untuk membersihkan para kaum munafikun di Tanah Yaman.

Ekspansi tersebut menjadi tonggak awal hubungan Kami dengan Aceh, Para Pasukan yang datang ke sana tidak pernah kembali, namun kami mendapat berita bahwa mereka telah menemukan potongan surga di sana. Seorang pedagang Tiongkok menyampaikan sebuah surat dari laksamana Kurdoğlu  bahwa dia bersama Pasukannya ingin menetap di Aceh untuk mempertahankan potongan surga yang telah ia temukan. Para bangsa kulit putih sangat ingin menguasai tanah-tanah tersebut dan rakyatnya masih belum memiliki peradaban selayak kita sekarang. Bersama dengan surat tersebut Laksamana mengirimkan sebuah peti bingkisan yang berisi permata dan berlian dan beberapa tumbuhan yang unik sebagai titipan hadiah dari Sultan Aceh.  Bagi bangsa kami yang sudah terbiasa menerima hadiah dan upeti dari para negara persekutuan dibuat terkejut oleh bingkisan tersebut, Emas, Permata dan berbagai jenis batu mulia lain sudah biasa kami lihat, namun sebuah bunga dan sejenis rempah-rempah membuat bangsa kami takjub, ternyata potongan surga sebagaimana yang dicerita ternyata memang ada.

Sejak saat itu Aceh menjadi sekutu terdekat kami ditanah hijau Asia, hampir setiap pelaut yang kembali dari sana menceritakan kisah-kisah yang sangat menakjubkan, selain keindahan alamnya, mereka juga banyak mengisahkan patriotisme para rakyat Aceh melawan para orang kulit putih kafir, mereka juga menceritakan bagaimana mereka bersama sama rakyat aceh membangun sebuah kapal yang sangat besar saat menghalau si kulit putih dari tanah melayu malaka walaupun mereka gagal, namun keberanian dan keuletan mereka sangat layak di hargai.

Namun sebuah kisah yang selalu mengganggu pikiranku adalah cerita tentang para perempuan-perempuan Aceh yang juga ikut bergabung bersama pasukan kerajaan, hal itu adalah sesuatu yang sangat mustahil terjadi di negeri kami dimana para perempuan hanya bertugas di rumah dan para lelakilah yang diwajibkan berlatih untuk persiapan ke medan perang, namun di sana, di Aceh, para perempuan menggenggam pedang dan turun bersama para pejuang lainnya untuk mengusir para si kafir kulit putih.

Kisah yang diceritakan ini terus mengganggu pikiranku dari waktu ke waktu, sehingga jika sebelumnya aku bercita-cita untuk menjadi penjaga baitul maqdis berubah menjadi keinginan besar untuk menjelajahi potongan surga di tanah Asia, aku ingin membuktikan bahwa kisah tersebut benar-benar ada dan bukan hanya cerita mabuk para pedagang dan pelaut.

Umurku kini yang genap19 Tahun, sudah memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi pejuang. Seharusnya bukan masalah bagiku yang untuk lolos seleksi tersebut karena aku termasuk salah satu anak panglima kerajaan Ottoman, namun aku tidak mau mati konyol dan menjadi beban dalam perjalanan ke tanah Asia. Dengan dibimbing oleh para Assasin didikan ibnu batutah, mengayungkan pedang dan melempar pisau adalah keahlian utamaku, selain beberapa trik bertempur yang mereka ajari kepadaku. para Assasin memang sangat terkenal, namun mereka selalu menutup diri dari dunia umum, mereka hanya mengajariku secara sembunyi-sembunyi. Sejak assasin menerima pesanan untuk menghabisi beberapa pejabat, Sultan memerintahkan untuk menangkap dan menghukum mati mereka, namun aku setuju dengan mereka para assasin karena para pejabat yang dibunuh itu adalah mereka para pejabat istana yang suka korupsi dan bermain nakal.

Setelah melewati seluruh test, aku bersama 50 pejuang lainnya siap diberangkatkan ke tanah Aceh, dan ini menjadi awal dari kisahku, menjadi pejuang di negeri orang untuk membela keyakinan dan hakikat yang aku pegang, dan sekaligus untuk membuktikan kebenaran sebuah kisah yang selalu mengganggu mimpiku…

 

(Bersambung…part 1 : Potongan Surga )

read more
Cerpen

Sinar Terang Petromak

“Ayah, lampunya mulai gelap,” teriak Lely, meminta ayah untuk memompa lampu petromaknya.

“Iya Nak, sebentar ayah pompa dulu ya, sambil menurunkan lampu dari meja belajar Lely dan adik-adiknya.

“Lampunya belum mau terang juga, Yah?” tanya Ari adik perempuan Lely yang baru masuk SD tahun ini.

“Iya Nak, Ayah harus menambah spritus dulu. Bersabar sebentar ya Nak,” Ayah bergegas menuju lemari tempat menyimpan spritus.

“Waaah Bunda, ternyata spritusnya habis. Tolong nyalakan lampu Teploknya Bun.”

Kemudian Bunda langsung menyalakan lampu teplok. Nyala lampu teplok ternyata tidak seterang seperti biasanya. Setelah dilihat, minyak tanah di dalamnya sudah hampir habis. “Minyaknya sudah hampir habis juga, Yah. Bagaimana nih Yah, Warung sudah tutup semua karena sudah larut malam,” kata Bunda

“Kita gak bisa belajar kalau tidak ada lampu, Bunda?” kata Lely membuat panik  adiknya

Ari kemudian berlari ke kamar dan menangis. “Kenapa Nak?” tanya Bunda menghampiri Ari.

“Ari harus mengerjakan PR. Besok harus dikumpulkan, Bunda.  Kalau gelap begini, Ari tidak bisa mengerjakan PR, Bunda” Jawab Ari sambil sesenggukkan.

Iya Nak, Ayah sedang berusaha agar lampunya bisa terang lagi. Bersabar ya, Nak,” bisik Bunda pada kami.

“Tapi Aku sudah mulai ngantuk Bunda,”

“Ooh, itu masalahnya. Sekarang hapus air matamu, Nak. Bunda tahu caranya, agar tidak gelap dan Ari bisa belajar lagi. Tapi, ada syaratnya,” Kata Bunda berusaha menenangkan Ari.

“Apa syaratnya, Bun”

“Ari harus membantu Bunda membuat Ceplik”

“Apa itu, Bun,” Ari dan Bunda kemudian menuju ruang tengah. Di sana sudah menunggu Ayah dan Kakak yang juga akan membantu membuat Ceplik.

“Kita akan membuat Ceplik ramai-ramai, biar cepat selesai, dan kalian bisa belajar lagi,” Kata Ayah sambil tersenyum dan membelai rambut Ari.

“Duduk di sini, Nak.”

“Nah, sekarang ambil sedikit kapas. Pilin kapasnya di telapak tangan kalian seperti ini,” Bunda menunjukkan cara memilin kapas dengan kedua telapak tangan.

“Pilin terus sampai kencang, boleh tambahkan kapasnya, agar cepliknya lebih panjang dan besar.”

“Sekarang letakkan Ceplik nya di atas tatakan gelas ini. Gunakan tatakan gelas yang tidak mudah terbakar. Tuang minyak sayur, sisakan ujung Ceplik agar tetap kering tidak kena minyak. Nah, sekarang Cepliknya kita nyalakan ujungnya dengan korek api,”

“Bunda, itu kan minyak yang biasa dipakai buat masak, kok bisa ya,” Ari mulai bertanya penasaran.

“Nanti, kalau Ari sekolahnya pintar dan terus naik kelas, Bu Guru atau Pak Guru akan menjelaskan kenapa minyak sayur bisa untuk membuat Ceplik,”  kata Ayah sambil tersenyum.

“Nah, sekarang kalian dapat belajar kembali. Ayo Nak, selesaikan PR mu. Minta tolong kakakmu kalau tidak bisa.”

“Baik, Yah.”

“Terima kasih Bunda, sekarang sudah terang seperti lampu Petromak,” Jawab Ari

Ayah dan Bunda saling tersenyum.

Lely bersyukur akhirnya adiknya bisa menyelesaikan PR nya dan mengumpulkannya esok hari.

Malam ini mereka mendapatkan pengalaman berharga, yaitu membuat Ceplik. Lampu minyak sederhana yang mudah dibuat. Berasal dari kapas dan minyak sayur. Sangat berguna bila persediaan minyak tanah di rumah sudah habis. (Lely Diah E.P)

 

sumber :http://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id

 

read more
Cerpen

Tersenyumlah untuk Dirimu Sendiri

Hari itu lagi-lagi tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Aku kembali gagal mendapatkan project baru. Aku sudah menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk merencanakan project ini ternyata aku gagal mendapatkannya. Tugas akhir juga sepertinya tidak menunjukkan titik terang. Aku masih belum mendapatkan ide hal yang harus kulakukan untuk tugas akhirku. Kata orang hidup bagaikan panggung sandiwara, bagaikan film, kalau gitu rasanya aku ingin melakukan fast forward sehingga bagian ini cepat berakhir. Seandainya hidup semudah itu, sayangnya tidak ada tombol fast forward yang dapat kutekan.

Aku memutuskan untuk pergi ke halte bus dekat rumah dan duduk sejenak disana dengan harapan dapat melihat seorang oma yang selalu duduk dan merajut di halte tersebut sambil menjual rajutannya. Sebenarnya aku penasaran dengan oma tersebut. Ia sepertinya hidup serba berkekurangan, setiap kali aku melihatnya, ia selalu menggunakan baju yang sudah lusuh dan penuh dengan tambalan, walaupun begitu oma tersebut selalu tersenyum, entah itu ketika sedang merajut atau ketika sedang tidak merajut. Sepertinya aku tidak pernah melihatnya tidak tersenyum, sehingga membuatku berpikir bagaimana oma tersebut dapat tetap bahagia padahal hidupnya sepertinya tidak lebih baik bahkan mungkin lebih parah dibandingkanku.

“Misi nak, kursinya kosong? Boleh duduk disini?” Tanya oma yang datang dengan agak membungkuk dan tersenyum sambil membawa kantong plastik yang berisi berbagai macam alat-alat rajutan dan rajutannya di kedua tangannya.

Aku pun berdiri dan membantu oma tersebut mengangkat barang bawaannya dan mempersilahkannya duduk.

“Terima kasih,” ucap oma tersebut lalu duduk sambil tetap tersenyum.

“Sama-sama oma, ” ucapku sambil menaruh barang bawaan oma tersebut lalu duduk di sebelah oma tersebut.

“Halo nak, kamu namanya siapa? Oma sering melihat kamu di sekitar sini, tingggal daerah sini?” Tanya oma ramah kepadaku.

“Namaku Nessa oma, iya aku tinggal di daerah sini dan sering kesini. Oma tinggal daerah sini juga?”

“Iya, oma tinggal di dekat kuburan,” jawab oma tersebut sambil tetap tersenyum.

“Ooo, oma tinggal sama siapa? Sudah lama tinggal disitu?” Tanyaku selanjutnya.

“Oma tinggal sendiri. Tinggal disana hampir satu tahun.”

“Lho?! Kog tinggal sendiri? Tidak tinggal sama keluarga?”

“Iya, oma sudah tidak punya keluarga. Suami dan anak oma sudah meninggal, jadi tinggal sendiri.”

“Maaf oma, aku ga tau.”

“Iya, tidak apa-apa.”

“Sebelum tinggal di daerah sini tinggal dimana? Kenapa pindah?”

“Dulu oma tinggal di daerah Jakarta Timur, pindah karena yang punya rumah sudah meninggal, lalu anaknya ingin memakai tempatnya jadi oma diminta pindah,” jawab oma sambil tetap tersenyum.

“Lalu, oma kog bisa pindah sampai sini? Sini kan jauh sekali dari Jakarta Timur.”

“Dulu oma tinggal di Jakarta Timur karena pemilik rumah yang dulu menawarkan oma tinggal disitu, tetapi karena sekarang sudah tidak ada, oma ingin tinggal dekat dengan suami dan anak oma. Disini oma tinggal dekat dengan kuburan suami dan anak oma. Biayanya juga jauh lebih murah dibandingkan disana. ”

Mendengar jawaban oma tersebut, aku hanya kaget dan terdiam tidak tahu harus merespon apa.

Sepertinya oma tersebut menyadari bahwa aku merasa sedih dan tidak enak, sehingga oma tersebut berkata sambil tetap tersenyum,” Jangan jadi sedih nak, tidak apa-apa kog. ”

“Oma kog masih bisa tersenyum? Malah selalu tersenyum padahal hidup oma juga gak mudah,” tanyaku secara refleks begitu melihat oma tersebut berkata seperti itu sambil tersenyum.

“Bukan berarti kalau ada masalah atau menghadapi banyak kesulitan tidak boleh tersenyum. Tersenyum hak setiap orang. Apakah dengan marah-marah dan menggerutu dapat mengurangi masalah atau kesulitan kita? Daripada marah-marah dan menggerutu lebih baik tersenyum. Tersenyum belum tentu dapat menyelesaikan masalah kita, tapi dapat memberikan kebahagiaan ke diri kita sendiri dan orang lain, ” jawab oma tersebut sambil memegang tanganku dan tersenyum lebih lebar lagi dari sebelumnya.

“Kalau ada masalah, kita saja sudah stress sendiri, bagaimana bisa bahagia oma? Lagian, kenapa harus membahagiakan orang lain, mereka saja belum tentu peduli sama kita dan orang lain juga belum tentu bahagia ngeliat kita tersenyum, bisa saja dia malah sebel melihat kita tersenyum sedangkan dia lagi banyak masalah.”

Oma tersebut kembali melebarkan senyumannya sambil mengangguk dan menepukkan tangannya di tanganku sambil berkata, “Dibandingkan melihat orang yang marah-marah, bukankah lebih menyenangkan melihat orang tersenyum? Jika mereka tidak senang dengan senyuman kita juga tidak apa-apa. Sama seperti kita mempunyai hak untuk tersenyum, mereka juga mempunyai hak untuk tidak tersenyum, mereka juga mempunyai hak untuk tidak senang dengan senyuman kita, walaupun begitu tetap lakukan apa yang kamu anggap baik. Lakukan untuk diri kamu sendiri bukan untuk orang lain. Oma pernah membaca satu kalimat mutiara yang berbunyi bahwa ketika kamu berbuat baik, walaupun orang lain tidak menghargai perbuatanmu tetaplah berbuat baik. ”

Mendengar itu, bukannya aku tambah mengerti, aku malah tambah tidak mengerti dengan perilaku dan pola pikir si oma. Kalau begitu bukankah usaha kita sia-sia? Tapi ya sudah lha, aku juga tidak berusaha untuk mengerti lebih lanjut pemikiran si oma. Mungkin memang perbedaan usia dan perbedaan pola pikir juga, pada dasarnya manusia berbeda-beda, yang pasti bertemu dengan oma membuat mood-ku menjadi lebih baik.

Tiba-tiba beberapa orang datang menghampiri oma untuk melihat-lihat barang dagangannya, aku pun tidak mau mengganggu lebih lanjut, sehingga aku pamitan kepada oma.

Keesokan harinya aku pun kembali duduk di halte tersebut dengan harapan kembali bertemu dengan sang oma. Pada saat itu, berbeda seperti biasanya, oma datang dan berjalan dengan sedikit terpincang-pincang tetapi tetap dalam keadaan ceria dan tersenyum. Melihat hal tersebut, aku segera menolongnya untuk duduk.

Selama berjalan ia terus tersenyum tapi di balik senyumannya tersebut, aku dapat melihat kesakitan. Aku tahu ia berusaha untuk menahan kesakitannya tersebut dan tetap tersenyum dibalik kesakitannya. Aku pun mengatakan kepadanya “Oma, dimana yang sakit? Sudah ke dokter? Tidak apa-apa kalau oma tidak tersenyum, oma tidak harus memaksakan diri untuk tersenyum di depanku.”

Tetapi oma itu malah menjawab, “Oma bukan tersenyum karena terpaksa tersenyum, karena oma memang ingin tersenyum. Oma bahagia dengan tersenyum dan menjadi lebih bahagia lagi kalau orang lain juga dapat bahagia serta tersenyum melihat oma”

“Tetapi belum tentu mereka melihat dan menghargai senyuman oma, lagian senyuman oma belum tentu berarti banyak bagi mereka dan belum tentu membuat mereka mengingat oma,” jawabku dengan sedikit emosi. Aku sedikit emosi karena, aku belakangan ini merasa setiap hal yang kulakukan sia-sia dan tidak dihargai sama sekali. Memang aku seharusnya tidak melampiaskan itu kepada oma, tetapi melihat oma seperti itu membuatku sedikit kasihan dan iba serta emosi, kenapa oma masih memikirkan orang lain padahal orang lain saja belum tentu memikirkan atau menghargai kita.

“Setidaknya kamu melihat senyuman oma kan? Oma tidak melakukannya untuk diingat dan dihargai. Oma hanya melakukan yang bisa dilakukan untuk membuat hari seseorang menjadi sedikit lebih baik dan mengingatkan orang bahwa setiap orang mempunyai hak untuk tersenyum serta ada berbagai macam alasan untuk tersenyum. Satu orang saja yang bahagia dan ikut tersenyum sudah dapat membuat oma lebih bahagia dan bersyukur. Kamu juga bisa mencoba untuk selalu tersenyum, tersenyum bisa membawa kebahagiaan dan membuat hari jadi lebih baik,” ucapnya dengan lembut sambil tersenyum dan memegang tanganku.

Aku hanya membalas saran oma dengan senyuman. Mungkin aku tidak akan pernah bisa seperti oma tersebut dan tidak akan sepenuhnya dapat mengerti apa yang dikatakan oleh oma tersebut. Tapi memang senyuman oma membawa ketenangan, dengan melihat senyumannya aku pun jadi ingin tersenyum dan merasa bahwa ternyata masalah yang sedang kuhadapi tidak sebesar yang dikupikirkan, sekaligus merasa malu oma yang mengalami lebih banyak kesulitan saja masih bisa tersenyum dan menikmati hidup. Bagaimana denganku?

Ketika sedang berbincang-bincang, tiba-tiba ada orang yang datang berjalan ke arah kita sambil membawa beberapa bungkusan di tangannya. Orang tersebut datang menghampiri oma dan menyerahkan beberapa bungkusan sambil berkata,” Nek, aku berharap nenek dapat menerima bungkusan ini. Bungkusan ini sebagai bentuk terima kasihku kepada nenek.”

Oma terlihat bingung melihat orang tersebut berterima kasih dan menyerahkan bingkisan kepadanya.

“Mungkin nenek tidak menyadarinya, tetapi beberapa bulan yang lalu aku duduk di halte ini karena sedang depresi dan merasa bahwa tidak ada orang yang menyadari kehadiranku. Pada saat itu, aku sempat berpikiran untuk mengakhiri hidupku sendiri, karena toh tidak ada orang yang peduli. Saat itu, tiba-tiba aku melihat nenek datang ke halte ini sambil membawa beberapa bungkusan dan tersenyum dengan ramah. Entah kenapa pada saat melihat senyuman nenek, membuat aku merasa lebih tenang dan merasa bahwa masih ada harapan. Setelah itu, aku berusaha untuk bangkit. Setiap kali aku mulai merasa jatuh lagi, aku akan kembali ke halte ini untuk melihat nenek merajut sambil tersenyum, entah kenapa dengan melakukan hal tersebut saja dapat memberikan kekuatan sendiri kepadaku. Sekarang, aku sudah dapat bangkit dan kehidupanku menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu, aku ingin berterima kasih kepada nenek, sekirannya nenek mau menerima bingkisan ini,” ucap orang tersebut sambil tersenyum.

Melihat hal tersebut membuatku menyadari bahwa memang mungkin yang kita lakukan belum tentu dihargai setiap orang, tetapi mungkin berharga bagi seseorang. Hal yang kecil dan mudah bahkan tidak ada artinya bagi kebanyakan orang mungkin berarti bagi seseorang. Kita juga seharusnya melakukan sesuatu bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk diri sendiri dan dengan hati. Terima kasih oma, kamu telah mengajarkan begitu banyak pelajaran berharga, mungkin tanpa oma sadari hal kecil yang oma lakukan ini juga memberikan arti yang berharga buat satu orang lagi.

BY

read more
Cerpen

Nasib malang gadis penjual sapu

NASIB MALANG GADIS PENJUAL SAPU

Di suatu desa kecil, hiduplah seorang gadis penjual sapu, gadis penjual sapu itu bernama sopia . Sopia adalah gadis yang amat sangat rajin beribadah, tak ada satupun ibadah yang ia tinggalkan selama ia sehat dan tidak mengalami suatu halangan apapun. Sopia hanya tinggal berdua bersama ibunya. Ibunya sudah amat rentan, karena ibunya sudah tua karena umur ibu sopia sudah menginjak usia 65 tahun. Ibu sopia bernama ibu Anis. Profesi ibu Anis adalah seorang buruh cuci, bu Anis menjadi buruh cuci dari satu rumah ke rumah yang lain, bu Anis berharap dengan semakin banyak baju yang bu Anis cuci, maka semakin banyak juga uang ang didapatkannya.Tapi, terkadang bu Anis hanya bisa mencuci disatu rumah saja, karena usia beliau yang sudah tua, dan amat sangat rentan dengan penyakit. Sedangkan Sopia hanya seorang gadis yang menjajakan sapu lidi berkeliling kampung, dengan harapan dapat membantu keuangan ibunya untuk makan sehari-hari.

Sopia harus berhenti bersekolah sejak ia menginjak kelas 3 SD, karena ekonomi ibunya yang tidak memungkinkan lagi untuk dapat membiayai sekolah Sopia.Lalu sopia pun berfikir, bagaimana agar ia tidak menjadi beban ibunya dan bisa membantu ibunya untuk kehidupan sehari-hari. Dengan usia sopia yang masih sangat kecil, tidak ada pekerjaan yang dapat dia lakukan, sampai akhirnya dia menjadi penjual sapu keliling kampung. Sopia berharap dengan demikian dia bisa sedikit meringankan beban yang ibunya tanggung selama ini. Walaupun pertama ibu Sopia tidak mengijinkan sopia untuk melakukan hal tersebut, namun dengan berat hati ibu sopia harus merelakan gadis kecilnya untuk berjualan sapu keliling dengan upah yang sangat kecil karena perekonomian ibu Anis pun memang sangat buruk.

Hingga usia sopia menginjak umur 17 tahun ibu Anis yang amat sangat dicintai leh sopia dan hanya satu-satunya orang yang dimiliki oleh sopia pun harus meninggalkan sopia untuk selama-lamanya. Allah swt memanggil Ibu Anis. Ibu Anis menderita penyakit TBC yang sudah kronis, namun akibat minimnya biaya, Bu Anis pun hanya membiarkan penyakitnya dan terkadang harus menahan rasa sakitnya. Jika sakit sudah tidak bisa bu Anis tahan bu Anis hanya bisa membeli obat penahan rasa sakit di warung dekat rumahnya. Sopia sangat merasa kehilangan. Sopia selalu menangis saat mengingat ibunya. Sampai suatu ketika dia bertemu dengan seorang lelaki yang baik, lelaki tersebut bernama ary, dan ary pun menyuruh Sopia untuk bekerja dipabrik roti miliknya.

Waktu pun bergulir, lambat laun timbul lah perasaan yang berbeda diantara ary dan Sopia,Sampai akhirnya ary pun menyatakan perasaannya kepada Sopia, dan sopia pun menyatakan perasaannya. Berselang tiga bulan, ar pun melamar Sopia dan mereka pun menikah. Hingga akhirnya Sopiapun mengandung anak mereka. Suatu pagi, terjadi hal yang sanagt mengharukan, dimana sopia mengalami pendarahan, dan sopia pun harus dibawa kerumah sakit, ternyata sopia mengalami kanker rahim, dan sopia harus melakukan operasi pengangkatan bayi dan pengangkatan rahimnya. Hal tersebut harus dilakukan oleh Dokter karena jika tidak nyawa Sopia akan hilang. Hingga akhirnya Sopia pun melakukan Operasi tersebut.

Lambat laun suami Sopia merasa bosan terhadap Sopia yang tdak bisa memberikan keturunan terhadapnya. Ary pun menceraikan Sopia, Sopia harus menerima semua ini dengan lapang dada. Sopia menganggap ini semua adalah cobaan dari tuhan dan sudah merupakan takdir Tuhan untuknya. Akhirnya Sopia pun kembali menjalani hidupnya sendiri di rumah peninggalan ibunya. Penyakit Sopia pun semakin menyebar dan memasuki stadium 4, hingga suatu ketika sopia tidak tahan lagi terhdap penyakitnya, dan Dokterpun sudah tidak mampu menangani penyakit sopia. Akhirnya Sopiapun menghembuskan napas terakhirnya. Sopia pun meninggalkan dunia ini dan meninggalkan semua penderitaan yang ia alami selama ini untuk menemukan kebahagiaan yang sejati di sisi ALLAH SWT.

Karya: Dewi Lestari

read more
Cerpen

UNTUK CINTA TIDAK ADA YANG MUSTAHIL

Akhir pekan yang mungkin terasa sangat garing bagi abay, Dia hnya menatap layar notebooknya ,terasa suasana disekelilingnya seperti gurun sahara yang tanpa tetesan air ,sangat membosankan itu yang mungkin terbesit dibenak remaja kls 2 sekolh menengah atas ini , Angin diluar jendela kamarnya seakan menertawakan abay yang bengong menatap kosong dengn jari yang sangat monoton menggerakkn kursor notebooknya itu.

Mungkin mencari beberapa kenalan baru difacebook akan terasa menyenangkan ,hohoho aku hampir lupa bahwa hari ini adalah weekend terburuk yang pernah aku rasakan’ abay berbesit dlm hti , MAtanya trus menelisik 1 demi 1 akun fb dan dia tercengang saat mlht sebuah profil seorang gadis yang mgkin seusia dengannya , lalu dia membuka 1 demi 1 foto yg ada dialbum pemilik fb trsbut . Siti almadinda ‘Nama siti itu terdengar jadul tapi almadinda ? Its nice ! Nama yang cocok unutk seorang gadis berlesung pipi itu ,atau mgkin foto ini cuma editan?’ hati abay mulai brtnya-tanya.

Abay mencoba memberanikan diri lalu dia mengirimkan pesan ke akun fb gadis tersebut , dengan cara taaruf anak muda era modern dan hnya dengan kata ‘hy’ beberapa detik kemudian gadis tersebt membalas pesan dari abay. setelah berkenalan lebih kurang 30 menit. Mereka pun mulai terlihat akrab. Ternyata siti almadinda itu berdomisili diluar daerah tempat tinggal abay .yaitu di aceh sedangkan abay bertempat tinggal diibukota jakarta.

Beginilah poros waktu ,beberapa minggu berselang saat keduanya semakin akrab .benih-benih cinta itu mulai tertanam ,mungkin wajar dua muda mudi ini mudah jatuh cinta. Abay yang merasa takut tertipu dengan foto dan suara siti almadinda di via telpon ,diapun membulatkan tekadnya untuk mengungkapkan suatu ganjalan dihatinya. ‘aku ingin taaruf ini lebih dari basa-basi, bisakah kamu menerima video call ku difb ?agar kita bisa memandang 1 sama lain! Jangan pernah salahkan jarak ,karna cinta tak pernah mengukur seberapa jauh dia hrs menentukan hatinya ! Benarkan itu sit? Namamu aneh aku mungkin akan memanggil mu dengan sapaan lebih akrab ,dinda itu lebih menawan menurutku’

Baiklah,aku ingin membuktikan bahwa wujud ku ini bukan tipuan kamera atau pun editan yang sangat murahan ,dinda? Itu nama panggilan yang menurutku sangat anggun ,baiklah bay ayo kita tunjukan se real apa kata berdua’ .jwb dinda

Opening love itu kata yang mungkin tepat untk kedua remaja ini,keduanya saling menatap 1 sama lain divideo call itu seakan mempertmukan 2 cucu adam & hawa yang sedang dihipnotis cinta. . . ‘aku baru tahu bhwa gadis2 diaceh itu memakai taplak meja untk dijadikan jelbab? Hahaha ,1 kata untkmu malam ini . NICE’ itulah sapaan pembuka dari abay . . . Lalu dinda menjawab ‘aku sempat berpikir pemuda ibukota tidak akan tercengang melihat seorang wanita yang tertutup seperti aku ini ,dan yang harus kamu garis bawahi bay ini bukan taplak meja tapi selendang hahaha Ejekanmu sangat menyenangkan ,dan 1 penilaian untuk hairstylemu malam ini .jambul rambtmu mirip sekali dengan gumpalan emas dimonas. Aku harap kamu tidak marah dengan kritikan ku ini .

Penilaian yang bagus dan terimakasih ,tpi aku ingin berbicara serius malam ini,tentag hatiku yang sangat gundah gulana ,kamu tahu aku mengagumimu ,kau bagaikan tetes embun penyejuk dahagaku nda, Sekarang rasa ini membunuh logikaku,aku tak peduli seberapa jauh jarak kita ,yang aku tahu hanya 1 hal semoga cintaku tak bertepuk sebelah tangan malam ini . . .maukah kamu menjadi pacarku?’ Lalu dinda merespons . ‘aku bisa melihat ketulusan dinanar matamu itu ,aku menerimamu dengan hati terbuka ,jagan pernh hancurkn aku degan kepalsuan. . .aku beri kepercayaan ini dan kumhon jaga baik-baik.

Keduanya pun merangkul bahagia dengan kata cinta yang lebih indah dari apa yang pernah mereka rasakan tentang omong kosong hubungan jarak jauh? Itu bukanlah alasan untuk mghakhiri hubungan yang diteguhkan oleh komitmen ini. Hari,berganti minggu,minggu berganti bulan ,bulan bergnti tahun dan brtahun-tahun mereka menjalin hubungan dengan komitmen yang sangat kuat tanpa pernah ada kata terpisah diantara keduanya. Jejak langkah mereka seakan trekam video call itu mulai dari setiap anniversary,keduanya wisuda memakai toga dan berbagai hal-hal yang sulit dilupakan .sampai tiba saatnya abay ingin berjumpa langsung dengan dinda Untk melamarnya . Namun contact nya terputus selma sebulan lebih entah kenapa ,terakhir yang iya tahu dinda pernah menangis lalu tersenyum dengan darah yang keluar dari lubang hidung.

Dengan hati yg sangat yakin abay pun berangkat keaceh.dengan alamat yang masih fifty-fifty dia membulatkan tekad untak bertemu dengan dinda ,setiba diaceh diapun akhirnya menemukan alamat kediaman dinda lalu menuju ke alamat tersebut didepan pintu pagar dia hanya bertemu seorag bibik yang bekerja dirumah tersebut ,setelah berbicara panjag lebar akhirnya abaypun tahu bahwa dinda menderita kanker otak stadium akhir dan dia sedang menjalani masa kritisnya dirumh sakit betapa terpukulnya abay saat ia mendengar cerita dari bibik tersebut. Abay pun menuju rumah sakit. setiba dirumah sakit abay bertemu orang tua dan kerabat dinda dia menceritakan semua tentangnya dan dinda.

Dan keluarga dinda pun mulai mengerti. Saat dia memandang dinda dia tak kuasa menahan tangisnya . Waktu untuk dinda mungkin tidak lama lagi . Namun abay yang benar-benar tulus mencintai dinda. Meminta restu kepada orang tua dinda untuk menikahi dinda,dia tidak peduli apa pun yang terjadi kedepannya .Dan orang tuanya pun setuju. Keesokan harinya resepsi pernikahan pun digelar .terlihat gaun pengantin sudah sangat longgar ditubuh dinda yang sudah sangat menyusut karna kanker yang sudah menjalar keseluruh tubuhnya,ijab kabul pun dimulai .suasana sangat khidmat dan hening para hadirin yang menyaksikan tidak kuasa menahan tangisnya , setelah resepsi selesai abay pun mencium kening dinda ,dinda trsnyum dn disitu pula saat kalimat sakral terpaut .dinda pun dijempt maut .abay tak kuasa menahan tangis .namun dia yakin wlaupun mereka tidak bisa brsma didunia namun kelak mereka akan dipersatukan disurga yang kekal abadi

UBAYDILLAH

read more
Cerpen

Selendang Nenek

ADAKAH kenangan yang tidak tidak bisa dilupakan? Kenangan yang mengais sebuah masa. Melingkar-lingkar seperti gasing, lalu meninabobokan hingga lena?

***

Nenek berkisah, bahwa selendang merah jambu itu menyimpan kenangan yang tak terlupakan baginya. Kenangan yang membuat nenek mencintai selendang itu melebihi cintanya kepada almarhum kakek. Dengan setia nenek terus merawat selendangnya. Merawat selendang itu bagi nenek seperti mengekalkan rasa cintanya pada seseorang. Dan aku berpikir, betapa menderitanya almarhum kakek sejak dulu karena itu, sebab  lelaki yang dicintai nenek bukanlah kakek. Ibu tahu betul tentang itu. Ibu dulu juga pernah berujar, bahwa kakek adalah lelaki yang sangat mencintai nenek. Meski kakek tahu, nenek menyimpan kenangan pada laki-laki lain.

Berulang kali ibu pernah menyarankan pada nenek untuk melupakan selendang merah jambu itu. Ibu juga pernah mengatakan pada nenek betapa menderitanya kakek karena setiap hari dirajam api cemburu hingga di akhir hayatnya. Tapi sampai sekarang nenek seperti tidak mau peduli. Nenek masih saja merawat selendang itu.

Kini setelah kepergian kakek, setiap sore nenek duduk di tingkap jendela sambil matanya memandang lepas ke luar pada hamparan sawah yang kini hanya tinggal dua petak. Dari jendela itu, nenek seperti berharap seseorang yang entah siapa akan datang padanya. Ibu mulai cemas melihat kebiasaan nenek itu. Ibu takut suatu saat nenek menjadi tidak waras. Aku pun mencemaskan nenek.

Tapi suatu senja, di tingkap jendela, nenek mengajakku untuk duduk bersamanya. Nenek mengatakan supaya aku mau mendengar sebuah kenangan. Juga tentang sebuah masa, di mana ketika itu nenek masih menjelma sosok yang jelita.

Nenek mengatakan pertama kali dia melihatnya saat hujan turun. Kala itu dia sedang beristirahat di pondok depan rumah ini bersama beberapa serdadu lainya setelah menggeledah kampung mencari orang-orang rimba. Di tingkap jendela ini, persis di sini, kata nenek, dia melihat ada raut kelelahan di wajahnya. Mungkin  dia dan teman-temannya merasa kecewa karena tidak menemukan buruannya.

Nenek juga menggambarkan saat itu orang itu telah menjelma bagai sosok pangeran yang datang entah dari kota mana. Sungguh, saat itu nenek terpesona. Nenek tiba-tiba saja telah jatuh hati padanya. Nenek tidak tahu mengapa bisa begitu.

“Mengapa nenek begitu gampang jatuh hati padanya. Apakah dia sangat gagah?” Tanyaku seperti kurang percaya ketika itu.

“Ya, dia memang gagah. Bahkan teramat gagah. Nenek terpesona,” jawab nenek pula. Aku tersenyum mendengar jawaban nenek yang polos itu.

Dari jendela, kata nenek, ia terus memperhatikannya. Memperhatikan sambil berharap dia melihat dan berjalan ke arah nenek, lalu mengajak nenek berbicara. Tapi ternyata tidak. Nenek tidak pernah berkenalan dengannya saat itu. Dia tidak  pernah melihat ke arah nenek. Nenek kecewa.

Ketika laki-laki itu dan serdadu lainnya pergi setelah hujan reda, nenek seperti kehilangannya. Entah mengapa. Padahal nenek tidak mengenalnya.

Nenek mengatakan saat itu kampung kami masih berupa sawah-sawah yang membentang. Hutan-hutan kecil masih mengepung kampung. Semak-semak masih melingkari rumah kami. Hidup saat itu kata nenek sangat sulit. Apalagi  perang tengah berlangsung. Orang-orang kampung sangat ketakutan ketika serdadu dari kota mencari orang rimba untuk ditangkap.

Nenek bertemu lagi dengannya dua hari setelah kejadian itu. Nenek menemukannya ketika dia duduk di depan pos ronda kampung. Saat itu dia sendiri. Dia masih berpakaian tentara. Nenek mengaku sangat terkejut pada pertemuannya itu, sebab dia tersenyum dan menatap nenek. Nenek tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Apalagi ketika dia mendekat ke arah nenek. Tubuh nenek seperti dialiri sesuatu. Sesautu yang menyebabkan nenek gemetar.

Dia lalu mengajak nenek  singgah di pos ronda itu. Nenek menyanggupinya. Padahal kala itu nenek harus segera ke sawah menyusul ibunya untuk mengantar  makanan. Nenek telah terbius olehnya. Mungkin habis waktu satu jam lebih mereka berbicara menanyakan berbagai ihwal. Jika saja buyutku kala itu tidak segera muncul di pos ronda itu, mungkin nenek tidak akan pernah beranjak. Dengan perasaan agak rendah diri, nenek dibawa pulang oleh buyutku.

Sesampai di rumah nenek dimarahi. Nenek dicaci karena telah membiarkan buyutku kelaparan di sawah. Dan yang terpenting, nenek disebut-sebut sebagai gadis yang lancang, sebab berdua-dua dengan lelaki yang baru dikenalnya. Apalagi dia itu seorang serdadu dari kota yang telah membuat orang kampung ketakutan, sebab dia pemburu orang rimba.

“Buat apa kau bicara denganya. Apa kata orang nanti. Bisa-bisa saya dituding berpihak pada serdadu kota. Pokoknya, kau jangan dekat denganya. Kau benar-benar keterlaluan, demi dia, kau biarkan bapak kelaparan. Tega sekali kau. Kau tahu, tanpa rasa bersalah, dia dan kawan-kawannya telah menembak Bujang Sabirin di sudut kampung. Padahal dia bukan pemberontak. Kau mau bapakmu ini dituduh bersekutu dengan tentara kota itu, hah?” umpat buyutku.

Nenek terdiam.

Sejak itu nenek diawasi. Nenek tidak boleh keluar rumah. Jika ketahuan, nenek langsung dimarahi. Nenek seperti gadis yang dipingit untuk dinikahkan. Tapi nenek tidak tahan juga. Suatu hari nenek ke luar rumah mencari laki-laki itu. Nenek menemuinya di pos ronda kampung.

“Berhari-hari aku telah menunggu kau lewat,” katanya pada nenek.

“Sampai begitu?” Tanya nenek seperti tidak percaya.

“Ya, kau tidak percaya?”

Nenek tersipu malu.

“Kalau begitu, maafkan aku.”

“Tidak apa-apa.”

Saat itu nenek menghabiskan sore dengannya di pos ronda kampung yang telah berubah fungsi menjadi markas tentara kota. Akhirnya nenek juga tahu, bahwa dia bukan prajurit biasa, tapi seorang komandan di garis depan.

Beberapa kali nenek terus mencuri waktu dengannya tanpa sepengetahuan buyutku, tapi orang sekampung tahu. Mereka memberitahukannya pada buyutku. Nenek kembali dicaci. Kali ini nenek diawasi lebih ketat. Kembali berhari-hari nenek  seperti merasa dipingit.

Sampai suatu hari, laki-laki dan pasukanya datang dan menggeledah isi rumah. Dia dan pasukannya datang menangkap buyutku karena dituduhnya pemberontak. Nenek terperangah. Nenek seperti tidak percaya. Nenek memarahinya. Tapi nenek terus diyakininya.

“Iya, berdasarkan laporan, bapakmu terlibat sebagai pemberontak. Aku hanya menjalankan tugas. Kuharap kau mengerti,” katanya pada nenek.

Dia juga meyakinkan nenek, bahwa ini tidak ada hubungannya dengan rasa kecewanya kepada buyutku karena tidak direstui untuk mendekati nenek. Untuk meyakinkan rasa sukanya pada nenek, dia lalu memberikan sebuah selendang merah jambu. Dia juga mengatakan tidak akan patah semangat karena tidak direstui. Suatu hari dia berjanji  akan membawa nenek ke kota. Sejak itu nenek semakin tergila-gila padanya. Ya, semenjak selendang itu diberikannya kepada nenek.

Apalagi sejak pengeledahan itu buyutku tidak pernah pulang. Kata nenek, buyutku memang ternyata seorang pemberontak. Orang rimba. Aku membayangkan tentu buyutku juga seorang laki-laki yang gagah.

“Lalu, setelah itu, bagaimana ceritanya, Nek?” Tanyaku. Nenek termenung, “Sayang, tanah itu kini hanya tinggal dua petak,” kata nenek. “Padahal di tanah itu dulu banyak sekali kenangan yang membentang.”

“Itulah Nek, orang kampung selalu tergoda untuk menjual tanah demi segepok uang,” kataku.

“Tapi, tidak apa juga.”

“Tidak apa? Kenapa Nek?” Tanyaku agak heran.

 Sejenak  nenek menatapku.

“Kau tidak tahu, dibangunnya rumah-rumah itu juga telah mengubur sebuah kenagan pahit.”

“Maksud nenek?”

“Nanti kau akan tahu,” jawab nenek. Dan setelah dua minggu buyutku tidak pulang, kata nenek, akhirnya buyutku datang pada suatu malam. Nenek ingat bapaknya datang dengan pakaian yang lusuh dan tubuh yang lebih kurus. Buyutku lalu menyuruh nenek duduk di depannya bersama buyut perempuanku. Katanya dia ingin berbicara tentang sesuatu yang penting. Dan dia tidak punya waktu yang cukup lama untuk menjelaskannya.

“Mungkin kalian tidak tahu, bahwa aku, pimpinan pemberontak di kampung ini. Aku adalah orang yang sangat dicari. Dicari tentu saja oleh, siapa nama teman kau dulu itu?” tanya buyutku pada nenek.

“Siapa, pak?”

“Itu, tentara yang berkenalan denganmu itu? Siapa namanya?”

“Waluyo.”

“Ya, Letnan Waluyo, dan pasukannya itu.”

“Aku telah punya kesepakatan dengan anak buahku di atas gunung sana,” kata buyutku sambil menunjuk ke arah gunung.

“Kesepakatan apa?” Tanya buyut perempuanku.

“Kesepakatan, bahwa siapa saja yang berhasil menembak Letnan itu, dia akan dinikahkan dengan, kau Nurjanah.”

Mendengar itu nenek terperangah. Nenek seperti tidak percaya atas perjodohan itu. “Kenapa Bapak begitu?” Tanya nenek terisak. “Ini demi perjuangan. Kau harus mau. Orang  mengorbankan nyawanya demi pemberontakan ini. Aku harap kau ikhlas,” jawab buyutku.

Nenek lalu berlari ke arah pintu. menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Nenek menangis sejadi-jadinya, tapi katanya buyutku tidak peduli sampai akhirnya dia kembali ke atas gunung.

“Kalau begitu, aku sudah dapat menebak isi ceritanya, nek,” kataku.

“Ya, mungkin saja,” jawab nenek.

“Jadi, Letnan Waloyu itu tewas kena tembak?” Nenek mengangguk.

“Dia tertembak pada suatu petang. Itu, di tanah yang kini dibangun rumah-rumah itu. Dia tertembak setelah berkunjung ke rumah ini. Mengunjungi nenek.”

“Dan, tentu yang menembak itu adalah kakek, bukan?” Tanyaku penasaran.

Nenek tidak langsung menjawab, pandangan dilepaskannya ke luar. “Ya, dia yang menembaknya. Setelah perang usai, nenek dinikahkan oleh buyutmu. Nenek pasrah.”

“Jadi, itu sebabnya nenek tidak pernah mencintai kakek?” Nenek tidak menjawab langsung. Nenek diam. Aku melihat nenek masih seperti memikirkannya. Ya, memikirkan Letnan Waluyo itu. Dan entah sampai kapan nenek akan seperti itu. Duduk di tingkap jendela sambil matanya memandang lepas ke luar, seperti berharap seseorang akan datang padanya. Ya, kenangan telah melingkar-lingkar seperti gasing di kepala nenek. Meninabobokannya hingga lena. Ternyata ada kenangan yang tidak bisa dilupakan. Ya, sejak berpuluh-puluh tahun silam.

*  Farizal Sikumbang, cerpenis dan guru di SMA 2 Seulimeum.(SerambiIndonesia)

read more