(foto : Ilustrasi penulis meugang bersama emak)
Sudah tiga kali bolak balek saya masuk ke mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri), tapi belum ada perubahan apa-apa, padahal sudah semingu yang lalu bendahara di sekolahku menyodorkan daftar penerimaan uang meugang. Sebut saja bendahara saya namanya “Syukri”, masih teringat dibenakku bagaimana beliau berguma saat aku meneken aprahan tersebut. Pak silahkan teken, biar segera dibawa ke dinas untuk dicairkan. Dalam hatiku begitu girang, karena melihat angka rupiah yang lumayan besar untuk kategori kehidupanku.
Tak ada yang kupikirkan selain uang itu akan segera cair dan tentunya emak ku begitu senang ketika aku menenteng sedikit daging untuk beliau masak. Aku begitu sedih kalau emak ku harus mencium aroma rendang, masak puteh ataupun masak mirah kesukaan beliau dari dapur tetangga.
Pikiran ku terus melayang, hari menjelang ramadhan, tapi uang harapannku untuk beli daging meugang untuk emak belum kunjung cair.
Emak ku sekarang sudah berumur senja, tinggal di sebuah kampung jauh dari tempat tinggalku. Beberapa waktu yang lalu aku pernah menjeguk beliau, ketika itu beliau mengeluh sakit, badan lemas, kepala pusing. Walaupun dalam keadaan sakit, beliau masih sanggup berjalan ke batas kampungku melihat sawah yang padinya mulai menguning.
Apakah beliau berharap, padi yang menguning bisa segera panen sebelum meugang tiba. Tapi aku yakin sampai meugang tiba, sawah emak ku pasti tidak akan panen.
Jauh dari kehidupan beliau, di sebuah kota, aku masih duduk termenung dengan segelas kopi yang masih hangat di meja. Perlahan kuseduh kopi itu dengan semangat, semangat itu sebagai harapan aku menunggu uang meugang agar segera keluar. Aku tidak berani lagi ke ATM, karena rasa malu dengan bapak satpam yang setia menjaga mesin itu.
Aku menghelai nafas panjang, pikiran jauh melayang, aku yakin tahun ini Emak ku pasti tidak bisa menikmati nikmatnya daging meugang.
Emak, maafkan anakmu yang tidak bisa membuat engkau bahagia menyambut bulan ramadhan tahun ini dengan menikmati daging di hari meugang. Emak, dulu ketika aku masih kanak-kanak, engkau berusaha keras agar aku tidak berlinang air mana melihat kawan sebayaku yang begitu lahap menikmati daging meugang yang dimasak ibunya.
Emak,,,kuyakin disepertiga malam engkau selalu berdoa, agar aku menjadi orang sukses dan bisa membahagiakan mu kelak. Emak,, aku yakin keringat yang kau kucurkan dipanasnya terik matahari, bersusah payah engkau di lumpur semuanya pasti untukku, agar tidak merasa terkucilkan diantara teman-teman sebaya ku tempo itu.
Tiba-tiba lamunanku sirna, seiring dering hp jadul yang berbunyi di kantong ku. Segera kulihat layar hitam hp ku, tertulis kak Nabon memanggil, aku kenal nama itu, beliau tetangga samping rumahku. Seketika aku angkat, dari jauh disana terdengar suara serak yang tak asing ditelinga ku.
Assalamualaikum neuk, kiban keadaan, pue sehat. Aku bergetar mendengar salam dari emak ku yang tiba-tiba menelpon. Segera ku jawab salam, Walaikum salam mak, lon sehat, kiban keadaan emak. Get neuk jawab emak ku lembut. Pajan kawoe neuk, lanjutnya berguma. Makin bergetar tubuhku, mendengar pertanyaan itu. Belum sempat aku menjawabnya, beliau melanjutkan, lon hana lon preh aneuk kaya, hana lon preh aneuk jeut keu peujabat, kawoe neuk kasaweu mak di gampong.
Tak terasa, air mata membasahi meja tempat aku duduk. Apa yang harus kujawab, didompetku hanya tersisa uang untuk bayar kopi yang sudah kupesan. Kemana harus aku mengadu, alasan apa harus kusampaikan pada emak ku, bahwa anaknya tidak bisa berbuat banyak untuk kebahagiaanya di hari meugang ini. Ampunilah dosa hambamu ini ya Allah, kemana kawan-kawan ku, kemana orang yang selama ini aku bela-belain, sampai aku menghabiskan waktu jatah keluarga untuk membantu pekerjaannya, padahal hari ini aku sangat butuh bantuannya agar aku bisa mengirimkan daging meugang untuk emakku.
Tanpa kusadari, dari belakang seseorang sangat kukenal, beliau bukan siapa-siapa dalam kehidupannku sekarang, menepuk pundakku, sambil berguma, kenapa termenung ? Apakah ada masalah ?. Sambil tersenyum malu dan setengah sadar aku menjawab. Tidak ada pak, maklum gada kawan, kadang mereka lagi mencari daging meugang untuk keluarganya.
Setelah beliau pesan kopi, melanjutkan pertanyaan, yang sebenarnya tak ingin ku dengar, kapan pulang kampung? Apakah tidak ada rencana jenguk keluarga. Tidak pak, banyak sekali kegiatan, jawabku mengelak. Pulanglah, lanjutnya, ini sedikit untuk daging meugang, walau tidak banyak tapi cukup untuk membeli sedikit daging. Ya Allah gumaku dalam hati, Allah telah mengirimkan orang, untuk ku bisa membahagiakan emak, renungku. Terima kasih jawabku, semoga berkah, lanjutnya.
Segera, kuhidupkan motor butut, peninggalan orang tua ku dulu. Wajah cemas sudah berganti riang sekarang. Karena aku yakin, emak ku pasti sangat senang hari ini, menunggu kedatangan anaknya.
Tiga jam berlalu, aku sudah berada tepat di depan pintu rumah emak ku, kuucapkan salam perlahan, dari dalam terdengar orang menjawab salam, mak…kupeluk beliau, ketika pintu belum sepenuhnya di buka. Maafkan aku, maafkan anakmu. Ini daging meugang untuk mu Mak.
Penulis merupakan Satgas Literasi IGI Aceh (cerpen ini sudah pernah dimuat di jurnal pasee)