Hari itu lagi-lagi tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Aku kembali gagal mendapatkan project baru. Aku sudah menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk merencanakan project ini ternyata aku gagal mendapatkannya. Tugas akhir juga sepertinya tidak menunjukkan titik terang. Aku masih belum mendapatkan ide hal yang harus kulakukan untuk tugas akhirku. Kata orang hidup bagaikan panggung sandiwara, bagaikan film, kalau gitu rasanya aku ingin melakukan fast forward sehingga bagian ini cepat berakhir. Seandainya hidup semudah itu, sayangnya tidak ada tombol fast forward yang dapat kutekan.
Aku memutuskan untuk pergi ke halte bus dekat rumah dan duduk sejenak disana dengan harapan dapat melihat seorang oma yang selalu duduk dan merajut di halte tersebut sambil menjual rajutannya. Sebenarnya aku penasaran dengan oma tersebut. Ia sepertinya hidup serba berkekurangan, setiap kali aku melihatnya, ia selalu menggunakan baju yang sudah lusuh dan penuh dengan tambalan, walaupun begitu oma tersebut selalu tersenyum, entah itu ketika sedang merajut atau ketika sedang tidak merajut. Sepertinya aku tidak pernah melihatnya tidak tersenyum, sehingga membuatku berpikir bagaimana oma tersebut dapat tetap bahagia padahal hidupnya sepertinya tidak lebih baik bahkan mungkin lebih parah dibandingkanku.
“Misi nak, kursinya kosong? Boleh duduk disini?” Tanya oma yang datang dengan agak membungkuk dan tersenyum sambil membawa kantong plastik yang berisi berbagai macam alat-alat rajutan dan rajutannya di kedua tangannya.
Aku pun berdiri dan membantu oma tersebut mengangkat barang bawaannya dan mempersilahkannya duduk.
“Terima kasih,” ucap oma tersebut lalu duduk sambil tetap tersenyum.
“Sama-sama oma, ” ucapku sambil menaruh barang bawaan oma tersebut lalu duduk di sebelah oma tersebut.
“Halo nak, kamu namanya siapa? Oma sering melihat kamu di sekitar sini, tingggal daerah sini?” Tanya oma ramah kepadaku.
“Namaku Nessa oma, iya aku tinggal di daerah sini dan sering kesini. Oma tinggal daerah sini juga?”
“Iya, oma tinggal di dekat kuburan,” jawab oma tersebut sambil tetap tersenyum.
“Ooo, oma tinggal sama siapa? Sudah lama tinggal disitu?” Tanyaku selanjutnya.
“Oma tinggal sendiri. Tinggal disana hampir satu tahun.”
“Lho?! Kog tinggal sendiri? Tidak tinggal sama keluarga?”
“Iya, oma sudah tidak punya keluarga. Suami dan anak oma sudah meninggal, jadi tinggal sendiri.”
“Maaf oma, aku ga tau.”
“Iya, tidak apa-apa.”
“Sebelum tinggal di daerah sini tinggal dimana? Kenapa pindah?”
“Dulu oma tinggal di daerah Jakarta Timur, pindah karena yang punya rumah sudah meninggal, lalu anaknya ingin memakai tempatnya jadi oma diminta pindah,” jawab oma sambil tetap tersenyum.
“Lalu, oma kog bisa pindah sampai sini? Sini kan jauh sekali dari Jakarta Timur.”
“Dulu oma tinggal di Jakarta Timur karena pemilik rumah yang dulu menawarkan oma tinggal disitu, tetapi karena sekarang sudah tidak ada, oma ingin tinggal dekat dengan suami dan anak oma. Disini oma tinggal dekat dengan kuburan suami dan anak oma. Biayanya juga jauh lebih murah dibandingkan disana. ”
Mendengar jawaban oma tersebut, aku hanya kaget dan terdiam tidak tahu harus merespon apa.
Sepertinya oma tersebut menyadari bahwa aku merasa sedih dan tidak enak, sehingga oma tersebut berkata sambil tetap tersenyum,” Jangan jadi sedih nak, tidak apa-apa kog. ”
“Oma kog masih bisa tersenyum? Malah selalu tersenyum padahal hidup oma juga gak mudah,” tanyaku secara refleks begitu melihat oma tersebut berkata seperti itu sambil tersenyum.
“Bukan berarti kalau ada masalah atau menghadapi banyak kesulitan tidak boleh tersenyum. Tersenyum hak setiap orang. Apakah dengan marah-marah dan menggerutu dapat mengurangi masalah atau kesulitan kita? Daripada marah-marah dan menggerutu lebih baik tersenyum. Tersenyum belum tentu dapat menyelesaikan masalah kita, tapi dapat memberikan kebahagiaan ke diri kita sendiri dan orang lain, ” jawab oma tersebut sambil memegang tanganku dan tersenyum lebih lebar lagi dari sebelumnya.
“Kalau ada masalah, kita saja sudah stress sendiri, bagaimana bisa bahagia oma? Lagian, kenapa harus membahagiakan orang lain, mereka saja belum tentu peduli sama kita dan orang lain juga belum tentu bahagia ngeliat kita tersenyum, bisa saja dia malah sebel melihat kita tersenyum sedangkan dia lagi banyak masalah.”
Oma tersebut kembali melebarkan senyumannya sambil mengangguk dan menepukkan tangannya di tanganku sambil berkata, “Dibandingkan melihat orang yang marah-marah, bukankah lebih menyenangkan melihat orang tersenyum? Jika mereka tidak senang dengan senyuman kita juga tidak apa-apa. Sama seperti kita mempunyai hak untuk tersenyum, mereka juga mempunyai hak untuk tidak tersenyum, mereka juga mempunyai hak untuk tidak senang dengan senyuman kita, walaupun begitu tetap lakukan apa yang kamu anggap baik. Lakukan untuk diri kamu sendiri bukan untuk orang lain. Oma pernah membaca satu kalimat mutiara yang berbunyi bahwa ketika kamu berbuat baik, walaupun orang lain tidak menghargai perbuatanmu tetaplah berbuat baik. ”
Mendengar itu, bukannya aku tambah mengerti, aku malah tambah tidak mengerti dengan perilaku dan pola pikir si oma. Kalau begitu bukankah usaha kita sia-sia? Tapi ya sudah lha, aku juga tidak berusaha untuk mengerti lebih lanjut pemikiran si oma. Mungkin memang perbedaan usia dan perbedaan pola pikir juga, pada dasarnya manusia berbeda-beda, yang pasti bertemu dengan oma membuat mood-ku menjadi lebih baik.
Tiba-tiba beberapa orang datang menghampiri oma untuk melihat-lihat barang dagangannya, aku pun tidak mau mengganggu lebih lanjut, sehingga aku pamitan kepada oma.
Keesokan harinya aku pun kembali duduk di halte tersebut dengan harapan kembali bertemu dengan sang oma. Pada saat itu, berbeda seperti biasanya, oma datang dan berjalan dengan sedikit terpincang-pincang tetapi tetap dalam keadaan ceria dan tersenyum. Melihat hal tersebut, aku segera menolongnya untuk duduk.
Selama berjalan ia terus tersenyum tapi di balik senyumannya tersebut, aku dapat melihat kesakitan. Aku tahu ia berusaha untuk menahan kesakitannya tersebut dan tetap tersenyum dibalik kesakitannya. Aku pun mengatakan kepadanya “Oma, dimana yang sakit? Sudah ke dokter? Tidak apa-apa kalau oma tidak tersenyum, oma tidak harus memaksakan diri untuk tersenyum di depanku.”
Tetapi oma itu malah menjawab, “Oma bukan tersenyum karena terpaksa tersenyum, karena oma memang ingin tersenyum. Oma bahagia dengan tersenyum dan menjadi lebih bahagia lagi kalau orang lain juga dapat bahagia serta tersenyum melihat oma”
“Tetapi belum tentu mereka melihat dan menghargai senyuman oma, lagian senyuman oma belum tentu berarti banyak bagi mereka dan belum tentu membuat mereka mengingat oma,” jawabku dengan sedikit emosi. Aku sedikit emosi karena, aku belakangan ini merasa setiap hal yang kulakukan sia-sia dan tidak dihargai sama sekali. Memang aku seharusnya tidak melampiaskan itu kepada oma, tetapi melihat oma seperti itu membuatku sedikit kasihan dan iba serta emosi, kenapa oma masih memikirkan orang lain padahal orang lain saja belum tentu memikirkan atau menghargai kita.
“Setidaknya kamu melihat senyuman oma kan? Oma tidak melakukannya untuk diingat dan dihargai. Oma hanya melakukan yang bisa dilakukan untuk membuat hari seseorang menjadi sedikit lebih baik dan mengingatkan orang bahwa setiap orang mempunyai hak untuk tersenyum serta ada berbagai macam alasan untuk tersenyum. Satu orang saja yang bahagia dan ikut tersenyum sudah dapat membuat oma lebih bahagia dan bersyukur. Kamu juga bisa mencoba untuk selalu tersenyum, tersenyum bisa membawa kebahagiaan dan membuat hari jadi lebih baik,” ucapnya dengan lembut sambil tersenyum dan memegang tanganku.
Aku hanya membalas saran oma dengan senyuman. Mungkin aku tidak akan pernah bisa seperti oma tersebut dan tidak akan sepenuhnya dapat mengerti apa yang dikatakan oleh oma tersebut. Tapi memang senyuman oma membawa ketenangan, dengan melihat senyumannya aku pun jadi ingin tersenyum dan merasa bahwa ternyata masalah yang sedang kuhadapi tidak sebesar yang dikupikirkan, sekaligus merasa malu oma yang mengalami lebih banyak kesulitan saja masih bisa tersenyum dan menikmati hidup. Bagaimana denganku?
Ketika sedang berbincang-bincang, tiba-tiba ada orang yang datang berjalan ke arah kita sambil membawa beberapa bungkusan di tangannya. Orang tersebut datang menghampiri oma dan menyerahkan beberapa bungkusan sambil berkata,” Nek, aku berharap nenek dapat menerima bungkusan ini. Bungkusan ini sebagai bentuk terima kasihku kepada nenek.”
Oma terlihat bingung melihat orang tersebut berterima kasih dan menyerahkan bingkisan kepadanya.
“Mungkin nenek tidak menyadarinya, tetapi beberapa bulan yang lalu aku duduk di halte ini karena sedang depresi dan merasa bahwa tidak ada orang yang menyadari kehadiranku. Pada saat itu, aku sempat berpikiran untuk mengakhiri hidupku sendiri, karena toh tidak ada orang yang peduli. Saat itu, tiba-tiba aku melihat nenek datang ke halte ini sambil membawa beberapa bungkusan dan tersenyum dengan ramah. Entah kenapa pada saat melihat senyuman nenek, membuat aku merasa lebih tenang dan merasa bahwa masih ada harapan. Setelah itu, aku berusaha untuk bangkit. Setiap kali aku mulai merasa jatuh lagi, aku akan kembali ke halte ini untuk melihat nenek merajut sambil tersenyum, entah kenapa dengan melakukan hal tersebut saja dapat memberikan kekuatan sendiri kepadaku. Sekarang, aku sudah dapat bangkit dan kehidupanku menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu, aku ingin berterima kasih kepada nenek, sekirannya nenek mau menerima bingkisan ini,” ucap orang tersebut sambil tersenyum.
Melihat hal tersebut membuatku menyadari bahwa memang mungkin yang kita lakukan belum tentu dihargai setiap orang, tetapi mungkin berharga bagi seseorang. Hal yang kecil dan mudah bahkan tidak ada artinya bagi kebanyakan orang mungkin berarti bagi seseorang. Kita juga seharusnya melakukan sesuatu bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk diri sendiri dan dengan hati. Terima kasih oma, kamu telah mengajarkan begitu banyak pelajaran berharga, mungkin tanpa oma sadari hal kecil yang oma lakukan ini juga memberikan arti yang berharga buat satu orang lagi.