X

Tukang “Meunyet Nyet” Apa Mungkin Karena “Ku’eh” ?

Perselisihan yang terjadi antar pertemanan sering sekali terjadi, entah disebabkan oleh perbedaan pendapat, pemahaman, sikap, sifat atau faktor kecil lainnya. Permasalahan yang tidak segera diselesaikan berakibat pada masalah yang kecil menjadi bumerang yang lebih besar lagi. Permasalahan ini akan menjadi momok di hati kita, yang sewaktu-waktu akan meledak. Hal ini disebabkan karena sering kali jika terjadi perselisihan kita hanya saling mendiamkan satu sama lain atau justru malah saling menghujat membicarakan keburukan-keburukan lawan kita. Permasalahan sebaiknya dibicarakan dengan baik-baik, dari hati ke hati.

Istilah “Meunyet-nyet” sering kita dengar dalam kosakata bahasa Aceh, yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya nyinyir; mengulang-ulang perintah atau permintaan, nyenyeh, dan cerewet (KBBI V edisi online). Ketika seseorang melakukan kesalahan baik dalam ucapan mau tindakan, maka si tukang “nyet nyet” akan selalu membahas kesalahan itu berulang-ulang (ata-ata sot). Bahkan, sering pula, kesalahan itu dipelintir agar orang yang membuat kesalahan akan merasa menyesal dan tidak tenang.

Sifat nyinyir ini bisa disebabkan karena bawaan seseorang selalu sinis dan cerewet. Di manapun ia berada dan kemanapun ia pergi selalu saja ada yang ingin dikomentari. Sehingga muncul postingan status di media yang bernada nyinyir.

Sebagai contoh, ada orang yang membuat terobosan atau ide-ide baru dan tidak dilibatkan dia, maka digiring opini negatif seakan-akan yang dibuat tersebut salah dan sia-sia, dan lebih parah lagi disebutkan bahwa orang tersebut mendapatkan bayaran yang mahal. Maka tidak heran langsung dibuat status dimedia sosial “nyan pane, item pubuet karena jai peng”. Sehingga orang seperti itu malah sering di istilahkan “Ku”eh” dalam Bahasa Aceh.

Namun, belakangan yang terjadi adalah memanfaatkan sosial media sebagai tempat curhat, melampiaskan amarah dan emosi. Sosial media menjadi tempat yang dirasa pas untuk ajang saling sindir-menyindir. Permasalahan bukannya mereda namun malah semakin memanas. Sosial media sebaiknya digunakan untuk menciptakan karya sebagai pelampiasan perasaan, bukan sebagai tempat mengumpat hujatan sebagai pelampiasan perasaan. Mungkin diantara kita masih banyak yang menggunakan sosial media belum dengan bijak

Menanggapi persoalan tersebut, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi lahirnya pernyataan sindiran seperti Dilansir dari Psychology Today yaitu :

Dipermainkan ekspektasi

Seseorang dalam relasinya dengan dunia luar sulit sekali untuk tidak berekspektasi. Bahkan, pada kenyataan riil yang terjadi pun akan lahir ekspektasi. Si tukang sindir merasa tidak bahagia sebab, terjadi jarak antara ekspektasi dan kenyataan yang dialami.

Mengalami situasi sulit atau canggung

Situasi sulit atau canggung mendorong seseorang memilih mengutarakan sindiran daripada to the point. Menyindir juga bisa jadi satu cara bagi seseorang untuk merespons ketegangan atau perasaan tak nyaman yang digerakkan oleh situasi yang menyedihkan. Itu artinya, bagi si tukang sindir dengan mengucapkan pernyataan sindiran membuatnya lebih lega.

Tidak memiliki keberanian cukup

Jika cukup berani mengutarakan apa adanya berdasarkan kenyataan, mungkin seseorang tidak akan merespons situasi di sekitarnya dengan sindiran. Faktanya, seseorang yang suka menyindir bergantung pada kepekaan orang disekelilingnya agar memahami apa yang ia maksudkan.

Pada satu sisi, mengemas kalimat membutuhkan kecerdasan. Tetapi di lain sisi dapat membuat orang lain sakit hati dan menimbulkan putusnya hubungan.

Orang yang lebih ramah dan teliti lebih suka to the point

Berdasarkan penelitian, orang yang lebih ramah dan teliti tidak menggunakan bahasa sindiran dan humor sebagai cara untuk meremehkan atau menyinggung orang lain. Meski tidak bisa diukur sebaliknya atau orang yang suka menyindir bukan orang yang ramah dan teliti.

Tetapi yang pasti ada dua kemungkinan, sindiran dipakai untuk menjalin relasi atau dapat menegaskan jarak dengan orang lain.

Kalimat sindiran dipakai untuk mendeteksi radar sosial

Karena tidak memiliki keberanian, dalam posisi sulit, dan tertekan pada kenyataan yang dialami, kalimat sindiran biasa dipakai untuk mendeteksi radar sosial. Ini berarti sindiran dapat dipakai untuk memastikan posisi atau mendeteksi posisi lawan bicara yang disindir.

Apakah lawan bicara yang disindir terhubung atau punya pikiran yang sama atau tidak, maka kalimat-kalimat yang tidak to the point lebih dipilih untuk diucapkan.

Saat ini akibat perkembangan teknologi yang sangat cepat, budaya “Meunyet nyet” berubah dari face to face di warung kopi menjadi sindir menyindir di media sosial, sehingga hampir semua orang membacanya dan tentu bagi sebagian orang menanggapinya sebagai status orang kurang bahagia.

Penulis merasa prihatin dengan fenomena tersebut, hampir setiap grup WhatsApp mulai grup komunitas, organisasi, hingga grup bapak-bapak penyuka “bulukat boh drien” pun saling nyinyir. Seharusnya kita masing-masing harus instropeksi diri tentang sesuatu persoalan, yang mungkin tidak sepenuhnya kita ketahui jadi tidak perlu direspon atau memang mungkin fenomena ini hanya ada bagi kalangan tertentu yang suka mengkritik sesuatu tanpa informasi yang lengkap atau memang sudah menjadi sifatnya begitu, kalau dipinjam lirik sebuah lagu Aceh “Ku’eh cit ka dalam pruet”

 

*Penulis Merupakan Pengamat Dunia Maya

fitriadi:
Related Post