REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail
Sewaktu sakit menjelang wafatnya, sahabat Abu Hurairah sempat menangis. Ketika ditanya, beliau berkata, “Aku menangis bukan karena memikirkan dunia, melainkan karena membayangkan jauhnya perjalanan menuju negeri akhirat. Aku harus menghadap Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku pun tak tahu, perjalananku ke sorga tempat kenikmatan atau ke neraka tempat penderitaan.?”
Lalu Abu Hurairah berdo’a: “Ya Allah, aku merindukan pertemuan dengan-Mu, kiranya Engkau pun berkenan menerimaku. Segerakanlah pertemuan ini”! Tak lama kemudian, Abu Hurairah berpulang ke rahmatullah. (Ibn Rajab, Jami` al-`Ulum wa al-Hikam).
Sahabat Nabi SAW yang satu ini, Abu Hurairah, memiliki keutamaan tersendiri. Lantaran tidak terlalu sibuk dalam bisnis dan politik, Abu Hurairah merupakan seorang sahabat yang paling banyak belajar dan mendapatkan pengajaran dari Baginda Rasulullah SAW.
Tak heran bila sejarah mencatatkan namanya sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Kita semua berhutang budi kepadanya.
Sebagaimana ditunjukkan Abu Hurairah, setiap Muslim mesti mengingat kematian, dan memperbanyak bekal dalam perjalanan panjang menuju negeri akhirat. Setiap perjalanan, sejatinya, memerlukan bekal, baik fisik maupun non fisik (spiritual).
Kitab suci Alqur’an menyebut takwa sebagai sebaik-baik bekal. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah/2: 197).
Bekal itu setidak-tidaknya meliputi empat macam. Pertama, transendensi, yang bertolak dari kekuatan iman kepada Allah SWT.
Transendensi menunjuk pada kemampuan manusia menyeberang atau melintasi batas-batas alam fisik, menuju alam rohani yang tak terbatas, yaitu Allah SWT. Ciri yang mula-mula dari orang takwa adalah transendensi, yu`minu bi al-ghayb (QS. Al-Baqarah/2: 3).
Kedua, distansi, yaitu kemampuan menjaga jarak dari setiap godaan dan kesenangan duniawi yang menipu (al-Tajafa fi Dar al-Ghurur). Distansi adalah kunci keselamatan.
Dalam bahasa modern, seperti dikemukakan al-Taftazani, distansi tak mengandung makna menolak dunia atau meninggalkannya, tetapi mengelola dunia dan menjadikannya sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah dan amal shalih. Di sini, dunia dipahami hanya sebagai alat (infrastruktur), bukan tujuan akhir.
Ketiga, kapitalisasi dalam arti kemampuan menjadikan semua aset yang dimiliki sebagai modal untuk kemuliaan di akhirat. Penting diingat, kapitalisasi hanya mungkin dilakukan oleh orang yang benar-benar percaya kepada Allah, dan percaya pada balasan-Nya.
Firman-Nya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah/2: 45-46).
Keempat, determinasi dalam arti memiliki semangat dan kesungguhan dalam mengarungi kehidupan. Determinasi tak lain adalah perjuangan itu sendiri.
Dalam Islam, perjuangan itu bersifat multideminsional dan multi-quotient, meliputi perjuangan fisikal (jihad), intelektual (ijtihad), dan spiritual (mujahadah). Allah SWT akan membukakan pintu-pintu kemenangan bagi orang yang berjuang dan memiliki determinasi dalam perjuangan. (QS. Al-`Ankabut/29: 69).
Inilah empat macam bekal yang perlu dipersiapkan sebelum ajal menjempunya. Semua orang berakal mengerti, kalau cukup bekal, perjalanan me