close

bimbel

Artikel

Menelisik Metode Les Pra UN Ala Guru Les Inti

Khaidir Rasyid, Sekretaris IGI Kabupaten Aceh Utara

Oleh: Khaidir Rasyid*

Ujian Nasional (UN) merupakan kegiatan rutinitas negara diujung suatu jenjang pendidikan. Walaupun UN hanya menjadi pemetaan bagi pemerintah saat ini, tetapi masih banyak yang phobia ketika mendengar kata-kata UN. Sebuah ujian bak permaisuri cantik yang menjadikan para perjaka berjuang untuk meraih hatinya, Itulah kondisi UN saat ini. Tak ada yang peduli tujuan UN itu sendiri, semua mempertahankan gengsi  bagaimanapun sekolah dan daerah tertentu berjuang untuk meraih nilai ujian tertinggi. Sang permaisuri akan jatuh kepelukan sang perjaka ketika sudah diraih hatinya, sekolah maupun daerah akan bisa membusungkan dada ketika ujian nasionalnya diatas rata-rata. Akibatnya apa ?, siswa yang menjadi korban. Mereka akan melihat ujian ini ibarat hantu blau yang harus punya mantra sakti mandraguna untuk melawannya.

Itulah fenomena yang terjadi baru-baru ini di sebuah provinsi yang ada di ujung sumatera yaitu Provinsi Aceh. Sebuah provinsi yang berbeda dan menginginkan sesuatu berbeda. Kewenangan sebagai daerah otonomi khusus, self government dijadikan kambing hitam ketika melahirkan sebuah gagasan. Kita tahu bersama dari beberapa media baik online maupun cetak, yang bahwa Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh dalam upacara penandatanganan kontrak dengan ratusan kepala SMA/SMK di Aceh, salah satu point penting disana adalah sekolah harus memastikan nilai UN meningkat dan persentase kelulusan di PT juga meningkat. Lagi-lagi UN menjadi seksi diperbincangkan, ujian ini bisa membuat seorang pimpinan daerah bisa membusungkan dada di depan para koleganya.

Apa konsekuensi dari kontrak yang fenomenal tersebut ?

Kepala dinas dalam hal ini cabang dinas pendidikan dibeberapa daerah memutar otak bagaimanapun caranya nilai UN tahun ini harus meningkat. Kepala sekolah juga memikirkan metode yang praktis dan mumpuni untuk mendongkrak nilai UN itu sendiri. Imbasnya adalah guru dan siswa yang harus mengerjakan keinginan nafsu birahi para pemimpin diatasnya.

Bukan Aceh namanya, kalau tidak melahirkan gagasan yang spektakuler. Tuntutan atasan demi menjaga kehormatan para kepala sekolah, maka kumpulan kepala sekolah di suatu daerah melahirkan sebuah metode les yang dinamakan dengan Guru Les Inti Pra UN.

Penulis coba menjelaskan secara singkat apa itu Guru Les ini pra UN.

Guru ini merupakan guru yang telah ditetapkan oleh MKSS dan disetujui oleh cabang dinas pendidikan, kemudian ditempatkan di beberapa sekolah yang berbeda. Indikator pemilihan guru inti ini juga masih menjadi tanda tanya, kemudian metode penempatan di beberapa sekolah tersebut juga absurd. Saya yakin dan percaya para penanggungjawab motode les guru inti tersebut punya alasan tersendiri. Mengapa tidak dilakukan penyilangan dalam penempatan guru inti. Perlu dipahami bersama, guru inti yang dimaksud disini bukanlah guru inti program Kementerian Pendidikandan Kebudayaan. Dimana pemilihan guru didasari dari prestasi dan kempetensi mereka dilihat dari nilai Ujian Kompetensi Guru (UKG).

Penulis akan menelisik dan menguraikan dari sisi manajamen seberapa efektif pelaksanaan les pra UN dengan metode guru les inti.

Mutu pendidikan adalah gambaran atau karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menentukan kemampuannya. Penentuan mutu pendidikan harus mencakup input, proses, dan output pendidikan. Ketiga komponen tersebut mengikat dan harus seiring berjalan. Kalau menginnginkan outputnya bagus, maka inputnya dan proses yang dilaksanakan juga harus sejalan.

Pertama input, siswa yang hadir ke sekolah memiliki beragam potensi dan kemampuan. Ketika para siswa ini dipaksakan untuk menelan angka-angka, maka hasilnya juga belum tentu mereka mampu semua. Kalau dalam bahasa Aceh sering diplesetkan Boh ara han mungken jet ke asoe kaya (buah tin tak mungkin bisa jadi srikaya). Jadi anak-anak yang mengenyam pendidikan di daerah 3T belum tentu sama kemampuannya dengan anak-anak di perkotaan. Pemaksaan peningkatan nilai UN secara menyeluruh bagi penulis adalah perampasan hak kebebasan anak dalam belajar.

Kedua proses, dalam hal ini kita melihat dalam menghadapi UN berbagai macam cara dan metode yang digunakan sekolah untuk gengsi dan dianggap hebat sesama koleganya. Apakah kita pernah menganalisis efektifitas program yang akan kita laksanakan. Sebagai contoh les UN melalu metode guru les inti, kita tahu guru yang memegang tanggung jawab tersebut adalah guru yang sama cuma akan menguliti soal-soal UN di sekolah yang berbeda. Lalu apa bedanya ketika mereka mengajar di sekolah sendiri. Toh SDM nya juga sama  Lalu bagaimana perekrutan guru les inti tersebut ? apakah ada diseleksi dan dipaksakan untuk menjawab soal-soal UN. Pertanyaannya, bagaimana bisa seorang guru yang akan menguliti soal-soal UN, namun kemampuan mereka masih dipertanyakan.

Penulis dalam hal ini bukan pesimis, namun bisa dilihat kemampuan guru kita secara nasional berdasarkan nilai UKG. Aceh berada pada peringkat 15. Kemudian kita ketahui bersama, para guru inti tersebut adalah kebanyakan guru senior dan banyak tugas diluar dari jam mengajar. Sejauhmana kita yakin mereka akan fokus dalam menyelesaikan soal-soal UN dengan berbagai jurus. Bukanlah guru les pra UN mendidik siswa, tapi mereka harus mengajarkan ke siswa bagaimana menjawab soal dengan cepat dan benar. Siswa harus mengejar angka, tak perlu memahami konsep darimana dan untuk apa.

Solusi Cerdas

Penulis ingin memberikan beberapa solusi yang mungkin bisa dijadikan referensi dalam peningkatan nilai ujian nasional nantinya. Pertama, sekolah bisa bekerjasama dengan bimbingan belajar (bimbel) khusus UN. Kita tahu bahwa bimbel merupakan lembaga profesional yang diisi anak-anak muda dan memberikan solusi cepat dalam membahas soal. Anak muda yang masih fresh graduate memiliki segudang jurus digjaya dan akan membabat habis soal-soal UN.

Kenapa harus bimbel ?

Praharesti Eriany, dkk. pada 2014 pernah mempublikasikan hasil penelitiannya dalam Jurnal Psikodimensia. Ia melakukan penelitian terhadap 48 responden siswa yang mengikuti bimbel di Primagama, Semarang. Hasilnya: dari 48 responden didapat sekitar 89,12 persen mengikuti bimbel karena dipengaruhi oleh motivasi intrinsik atau dorongan dari internal mereka. Sementara sisanya 10,88 persen dipengaruhi oleh motivasi ekstrinsik (ekstrenal). Artinya siswa ketika mengikuti bimbel lebih bersemangat dibandingkan dengan yang diajarkan oleh guru mereka sendiri.

Kedua, kalaupun metode les pra UN dengan Guru les inti ini tetap harus dijalankan maka perlu adanya telaah sederhana. Perlu adanya refleksi sebelum diterapkan. Analisa sederhana tak perlu waktu yang banyak. Para pengambil kebijakan perlu memetakan sekolah mana yang memiliki guru dengan kompetensi mumpuni. Sekolah mana yang wajar dan layak untuk didongrak nilai UN nya. Penulis dalam hal ini tidak menafikan sekolah-sekolah lain, namun seperti dijelaskan sebelumnya setiap anak itu istimewa dan memiliki potensi yang berbeda-beda. Guru yang telah dipilih tadi diseleksi dengan menyelesaikan soal-soal UN. Nah guru yang mampu menyelesaikan soal itulah yang akan menjadi tutor nantinya.

Tetapi walau bagaimanapun, penulis sangat mengapresiasi akan niat baik para pimpinan kita. Terobosan-terobosan terus dilahirkan untuk membantu anak bangsa dalam meraih cita-citanya. Penulis melihat sikap yang begitu berani di negeri misteri ini dilakukan oleh pencetus ide guru les inti tersebut. Bagi saya, pendidikan anak jangan coba-coba.

*Khaidir Rasyid, Sekretaris IGI Kabupaten Aceh Utara dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jurusan Manajamen Pendidikan

read more